Bag. 3

4.6K 469 24
                                    

Handiko masuk ke dalam kamarnya dengan hanya berbalutkan handuk di pinggang. Tubuhnya kini terasa segar setelah mandi. Meski begitu, pikirannya masih belum bisa menyingkirkan segala ucapan Zhu Chi padanya. Mengenai semuanya. Matanya lantas menyisir lima poster Taylor Swift yang memang terpasang di beberapa sudut kamar sesuai dengan apa yang Zhu Chi ungkapkan.

"Gila ya tuh cewek! Dia bener-bener hebat. Gimana mungkin dia bisa meramal dan mengetahui hal sampe sebegitu detilnya?" desis Handiko terheran-heran. Namun, ada satu hal yang masih sedikit membuat dirinya bimbang.

'...ada hujan, ada bangku hitam, lalu ada yang berteduh di bawah pepohonan dengan salah seorang yang menyerahkan jaket...'

Kata-kata Zhu Chi yang terngiang dalam pikirannya membuatnya benar-benar tak tenang. Handiko tadi kehujanan bersama Fabian, lantas berteduh di bawah pohon berdua, duduk di atas bangku besi warna hitam, kemudian jaket miliknya dipakaikan pada Fabian. Handiko bangun dari pembaringannya dan langsung menggeleng-gelengkan kepala, tidak ingin mempercayai kesimpulan konyol yang dirinya buat. Jadi ia memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu lantas berjalan ke arah lemari untuk memilih baju ganti.

Di luar gerbang kediaman Handiko, sebuah sepeda mengerem kencang dan kontan berhenti. Sang pengontel sepeda segera turun dari sadel, membiarkan kendaraan yang dibawanya jatuh begitu saja lantas berjalan ke rumah yang menjadi tempat tujuannya. Sesampainya di halaman depan, Fabian melihat motor Satria milik Handiko sudah terparkir di sana. Sesuai dugaan, sahabatnya ini telah sampai ke mari.

Begitu berdiri di depan pintu, Fabian mengetuk buru-buru. "Assalamu'alaikum!" dengan napas terengah menyerukan salam sambil mengetuk beberapa kali. Tak berselang lama pintu terbuka dari dalam, menampakkan sosok bocah yang tak asing di mata Fabian.

"Wa'alaikumsalam," ujar si bocah membalas salam dengan suara lucu.

Fabian menarik napas panjang lebih dulu. "Yusuf, kak Diko-nya ada?" tanyanya pada Yusuf, yang tidak lain merupakan adik Handiko satu-satunya.

Yusuf mengangguk dua kali lalu menjawab, "Kak Diko ada di dalam, Kak. Tadi sih Yusuf liat Kakak langsung masuk kamar."

Fabian hendak merespons ketika suara seorang wanita terdengar dari belakang punggungnya. "Lho, Fabian?"

Fabian refleks berbalik, mendapati sosok wanita anggun yang amat dikenalinya. "Tante Isna, assalamu'alaikum," sapanya yang langsung saja meraih tangan Mama sahabatnya ini dan menciumnya sopan. "Apa kabar, Tante?" tanya Fabian setelah ciuman salamnya berakhir.

Isna tersenyum, mengusap wajah Fabian yang sedikit berpeluh. "Alhamdulillah kabar Tante baik, Yan. Apa kamu yang naik sepeda itu?" Balasnya seraya menunjuk pada sepeda yang Fabian geletakkan begitu saja di depan gerbang rumahnya.

Fabian nyengir tak enak. "Maaf, Tan. Nanti saya pindahin. A-ada perlu penting sama Diko soalnya," jawabnya sedikit kikuk.

Isna mengangguk penuh pengertian. "Iya, udah. Masuk aja ke dalam kalo mau ketemu Diko, kayak di rumah siapa aja. Tante mau lanjut ngerapihin taman. Gara-gara hujan angin tadi banyak daun jatuh, sih. Ya, Bian. Sekalian ajak Diko makan, tadi dia belum makan."

Fabian hanya mampu mengangguk menanggapi penuturan itu. "Iya, Tan. Makasih. Masuk dulu." setelahnya ia berbalik, memasuki ruang utama yang pintunya masih dibiarkan terbuka oleh Yusuf yang entah sekarang berada di mana.

---

Handiko baru saja selesai memakai celana sewaktu mendengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Sambil terus menggosok rambutnya yang basah dengan handuk dalam genggaman tangan kiri, pemuda berusia 18 tahun ini berjalan ke arah pintu. Lalu saat tangan kanannya membuka pintu, kemunculan sosok Fabian yang masih terlihat sama seperti saat mereka terakhir bertemu agak mengejutkannya. "Lho Yan, kok lo malah ada di sini?" tanyanya jelas terdengar heran.

Siapa Yang Tahu? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang