4. Jadi, kamu taruh aku di friendzone ya, Di?

18K 2.6K 349
                                    

Ada yang tahu ga? Kalau manasin sayur ketupat ga boleh langsung dari kulkas ke microwave kalau wadahnya dari mangkuk kaca. Nanti tiba-tiba terdengar suara kretek-kretek... lalu si mangkuk jadi pecah deh, tepat di garis batas sayur.

Nah, saat melihat sosok yang Sita yakin kalau itu adalah Ardi. Rasanya terdengar kretek-kretek, lalu hatinya mendadak bolong. Persis mangkok saji di rumah Sita.

Saat itu sih Sita sakit hati karena diomelin mamanya satu jam penuh. Tapi ga sebanding sama sakit yang dirasakan saat ini.

Mau lari mengejar Ardi lalu berteriak, "Apa yang kamu lakukan itu jahara, Di! Kok gue ga pernah loe ajak jalan ke Mall? Kenapa kau malah mengajak diaaa?" Pakai gaya mata melotot, tangan menunjuk hidung perempuan di sebelah Ardi.

Namun Sita masih punya malu. Lagipula kan lebih malu lagi kalau Ardi sampai menatap dia pakai tatapan tajam, lalu menjawab dingin. "Siape eluhhh??"

Yang ada bukan hanya hatinya yang kretek-kretek, mukanya juga!

"Mbak, maju, Mbak." Teguran orang di belakang Sita menyadarkan dia.

Ya elah, kaga tau orang lagi patah hati ya, Mas? Pake nyuruh maju antrian segala?

Sita membeli Thai tea dan cepat-cepat pulang karena kalau dia tinggal lebih lama di Mall ini, yang ada dia akan semakin gila dan memiliki keinginan untuk memata-matai setiap langkah Ardi.

Sita sama sekali tak tahu akan kehidupan pribadi Ardi di luar sekolah. Bahkan yang dia tahu satu-satunya wanita yang akrab dengannya hanya Sita.

Bukan berarti Ardi anti pada wanita, hanya terlihat membatasi pergaulan dengan lawan jenis saja. Ardi juga bisa akrab dengannya karena dia suka merendengi Ardi kemanapun dia pergi. Menyapa duluan, mengajak ke kantin, mengirimkan chat tak penting, menemani saat asmanya kambuh. Selalu Sita yang membuat first move, tidak pernah Ardi.

Dengan begitu saja Sita sudah merasa spesial. Namun ternyata itu hanya pikiran yang mempermainkan hatinya saja.

Dia tetap bukan siapa-siapa bagi Ardi.

----------

"Kupikir kamu butuh banyak tisu, ternyata engga," ledek Ardi saat mereka bercakap-cakap sambil menikmati sushi dan juga ramen.

"Sudah mempersiapkan hati sebelumnya," jawab Dee lalu menjulurkan lidahnya meledek Ardi.

"It's fun... setelah sekian lama akhirnya kita bisa pergi bareng lagi. Kamu tuh susah banget diajak jalannya deh, Di!" keluh Dee.

"Bulan lalu kali terakhir aku lomba matematika. Jadi memang agak sibuk, maaf ya...."

"Ngumpulin poin untuk memperbagus resume? Kamu akan kuliah ke luar ga sih? Padahal kalau kamu tetap di sekolah kita, link-nya akan jauh lebih banyak dari pada kamu masuk sekolah negeri."

"I told you before, aku cuma mau cari suasana baru. Bosen juga di international school terus. Tapi sepertinya aku ga ke LN untuk bachelor degree. Aku sudah dapat jaminan PTN, jurusan matematika. Masih menimbang-nimbang sih, ada jurusan lain yang aku mau. Kamu sendiri, bagaimana?"

Dee mengehela napas panjang. "Saat papa kamu dokter bedah ortopedi dan mama kamu dokter spesialis anak, besar harapan kalau aku harus mengikuti jejak mereka juga. Padahal Abang Rio sudah jadi dokter juga. Kenapa aku harus ikut-ikutan?"

Ardi tersenyum tipis. "Aku mau jadi dokter, tapi aku ga bisa."

Dee jadi salah tingkah. Dia tahu pasti apa yang mengakibatkan sahabat dari bayinya ini tak bisa menjadi dokter. Dia meminum ocha dingin untuk meredam rasa tegangnya.

My Favorite Person!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang