Chapter 1

11.4K 887 16
                                    

"Gue benci pindahan."

"Kenapa?"

"Karna gue harus beradaptasi lagi dengan lingkungan baru, rekan kerja baru, dan semua yang serba baru," ujarku sambil mengangkat sebuah kardus.

Keenan tergelak, "Tinggal adaptasi lagi. Walaupun gue ngga yakin ada tetangga yang seganteng gue."

Aku menatapnya sesaat, kayanya emang ngga bakal ada deh, Nan. "Sok ganteng lo," cibirku.

Keenan mengambil alih kardus dari tanganku. Lalu ia mengedipkan matanya sebelah. Gila ya, ini cowok sadar pesona banget sih!

Pura-pura aku menyeringai jijik, "Najis."

Ia tertawa, lalu meletakkan kardus tersebut diatas kardus lainnya. Aku melipat tangan di depan dada dan meneliti setiap kardus-kardus yang sudah berjejer rapih, siap untuk dipindahkan.

"Gue bakal kangen banget sama apartment ini. Andai gue boleh ngga pindah. Sayangnya gue harus," desahku tak rela.

Keenan duduk bersila di lantai apartmentku, "Kalo gue disuruh pindah sih mau-mau aja. Capek direpotin sama tetangga kaya lo."

Aku mendengus, "Kampret. Tiap gue repotin juga selalu gue kasih imbalan kan."

Ia terkekeh.

Andai aku perjalanan kantorku yang baru nggak jauh dari sini pasti aku tidak akan serepot ini. Seandainya aku sekuat Keenan yang tiap hari melakukan perjalanan hampir dua jam ke kantor, sayangnya aku nggak kuat. Mau nggak mau, harus mencari apartment baru walaupun aku sudah sangat sayang dengan tempat ini dan tetanggaku yang ganteng ini.

"Oi ngelamun." Keenan menepuk kakiku.

Aku menunduk dan ikut bersila di dekatnya, "Lo yakin ngga mau ikutan pindah?"

"Masih gue pikirin lagi deh, kalo tempatnya nggak disamping lo gue ngga mau deh," ujarnya seraya mengedipkan sebelah matanya kepadaku.

Mendengar perkataannya aku memutar bola mataku, "Halah. Bilang aja lo ngga tega mau pisah sama gebetan lo di lantai bawah. Siapa namanya? Sera?"

Keenan meringis. "Apaan sih, Dis."

"Apaan sih tapi yang gue bilang bener kan?" tanyaku.

Yang ditanya menggedikkan bahu merasa tak perlu menjawab pertanyaanku. Keenan mengusap dahinya yang berpeluh. Aku melempar handuk kecil ke arahnya. Ia menatapku dan mengirim isyarat terima kasih.

"Jangan kangen gue ya, Nan," kataku.

Keenan tersenyum geli, "Kangen? Gimana ya, Dis, kita bakalan sekantor. Sebenernya ini agak melegakan sih, jadi gue nggak mesti ketemu lo di dua tempat."

Aku cemberut. Andai dia tahu ya, kalau aku yang bakalan kangen sama dia. Ketemu di kantor aja kayanya nggak bakalan cukup deh.

"Jangan-jangan lo nanti yang bakalan kangen sama gue," ujar Keenan sambil terkekeh.

Aaah, sepertinya dia bisa membaca pikiranku. Tapi aku buru-buru menutupi rasa terkejutku dengan tertawa yang sepertinya agak kaku, "Nggak mungkin lah!"

Keenan kemudian berdiri dan berkata. "Tenang aja. Gue bakal sering-sering mampir, berhubung deket kantor juga kan?"

Aku mengangguk. Laki-laki cakep itu mengulurkan tangannya dan membantuku berdiri. Tanpa sungkan ia mengusap peluhku dengan handuk kecil yang tadi aku berikan. Saat dia melakukannya, lututku seketika lemas rasanya. Perhatian dan tindakan Keenan seperti ini yang bakal bikin aku kangen.

Neighbour From HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang