Kang Daniel udah ada di kelas sama sahabat tercintanya, Ong Seongwoo. Mereka lagi ngobrol sambil sesekali bercanda ria. Dia bahkan gak merhatiin gue saat gue masuk ruangan dan duduk di barisan pertama, Gue mendengus. Tentu aja dia gak bakal merhatiin gue. Dia balik ke sifat aslinya, ke habitat aslinya.
Dia juga gak meehatiin gue di kelas lainnya. Dia selalu sibuk ngobrol sama Seongwoo dan cewek lainnya. Gue gak merasa kasihan lagi sama Niel. Gue yakin dia menikmati peehatian yang dia terima dari temen-temennya. Bahkan gurunya pun suka muji-muji dia.
Gue yakin dia gak pernah belajar.
Pas makan siang, gue ketemu lagi sama Mina di kafetaria utama. Sejak gue nyelesaiin kelas lebih awal dari yang lain, kafetaria masih sepi jadi, gue bisa nempatin meja kosong buat dua orang.
"Anjir, lama-lama gue bisa mati ikut kelas pemasaran, gue terus-terusan dikasih kertas buat dibaca setiap minggu." katanya lelah.
Gue ngasih dia sepotong daging tambahan kesukaannya. "Semangat!"
Kang Daniel dan pasukannya masuk dan dia duduk di meja kedua dari meja gue, sementara temen-temennya pergi buat beli makanan. Niel menghadap ke arah gue. Tiba-tiba dia menangkap iris mata gue dan tersenyum konyol. Gue gak yakin apa dia senyum ke gue atau bukan, jadi gue cuma nganggukkin kepala.
"Muka lo kok merah gitu, sih?" tanya Mina.
"Eng--enggak," kata gue dengan cepat. "Makanannya panas banget."
Mina menyipitkan matanya dan ngikutin arah pandangan gue. "Niel?"
"Dia tadi ... senyum ke gue." gue mencoba bersembunyi dari Niel pake badan Mina. "Gue gak yakin sih, dia senyum ke gue atau bukan, dia gak merhatiin gue atau sekedar nyapa, kenapa dia baru senyum ke gue sekarang?"
"Mungkin karena lagi gak ada si Seongwoo?"
"Udah ah, lanjut makan." ucap gue buru-buru.
------
Gue denger suara yang udah gak asing di telinga gue. Yap, itu suara roda skateboard yang meluncur di jalur semen. Cuma ada satu orang yang ada di benak gue. Cowok berambut cokelat karamel itu ngelewatin gue dengan ngendarain skateboardnya. Gue pikir dia ngeabaikan gue lagi, ternyata gue salah. Dia berhenti beberapa meter di depan gue dan nungguin gue.
"Hai," katanya lalu senyum sambil nunjukkin gigi kelincinya. "Gue denger lo tinggal di deket sini?" Cara dia ngomong udah kayak bayi besar. Bukannya jawab pertanyaan, gue malah merhatiin seberapa tingginya dia. Atau mungkin gue yang kependekan. Dia juga punya bahu yang lebar tapi diliat dari mukanya... Gue agak ragu kalau dia itu seorang mahasiswa.
Gue ngangguk buat beberapa alesan, setiap kali gue lagi sama Niel, lidah gue selalu kelu.
"Gue selalu pulang lewat jalan sini tapi ini pertama kalinya gue ketemu sama lo."
"Biasanya gue naik bus," kata gue diikuti dengan keheningan yang canggung.
"Ah, begitu," katanya dan seperti biasa mengakhirinya sambil tertawa. "Lo gak naik bus lagi?" Dia cowok yang banyak bicara.
"Gue kehilangan bus, tapi gue rasa lebih enak kalau jalan."
"Emang, tapi gue lebih suka naik skateboard. Apa lo tau cara ngendarainnya?"
Gue ngegelengin kepala. Gue mau belajar, apa itu jawaban yang dia harepin dari gue?
"Umh, gue lewat sini," gue nunjuk sisi kiri jalan setelah berjalan selama lima belas menit.
"Gue tinggal satu blok dari sini," katanya sambil menunjuk ke arah rumahnya.
Rumah dia deket sama rumah gue!! Kenapa sih dunia kayaknya benci banget sama gue??!!
"Bye!" Dia bilang sambil lambain tangan ke gue.
-To Be Continued-
Wahh ceritanya gak jelas sumpah! Geli sendiri gue bacanya :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan ─ Kang Daniel✔
RandomKetika gue mutusin buat ngasih kesempatan ke cowok yang paling gue benci, Kang Daniel.