Bapak itu mengangguk paham. “Mari saya tunjukkan.”
Mereka berdua mengikuti langkah Pak Tua itu menuju ke belakang apartemen. Terbesit sedikit rasa penasaran pada diri Rafith dan Zea mengapa Pak Tua itu malah mengajaknya ke tempat yang asing menurut mereka.
Salju menutupi tempat it, mereka tak tau tempat semacam apa yang sedang ditunjukkan Pak Tua. Di tempat itu banyak sekali batu-batu yang tertutup salju.
Pak Tua itu berhenti di sebuah pohon maple. Ia duduk membersihkan Es yang mengotori batu itu. Zea penasaran untuk apa Pak Tua membersihkan batu itu? Bukankah tadi ia mengajaknya untuk menemui Kea?
“Kea…” katanya sedikit serak. “Dia pergi setahun lalu.” Katanya hampir tak terdengar di telinga sepasang suami istri itu.
Telinga mereka cukup peka mendengar sesuatu yang berhubungan dengan Kea. Detak jantung Zea seolah berhenti, ia tak merasakan apapun saat itu. Pelupuk matanya telah penuh, tinggal menunggu hitungan detik untuk terjun bebas. Sementara Rafith tak menunjukkan hal apapun, ia terpaku di tempatnya, matanya memandangi sebuah batu yang baru ia ketahui bahwa batu itu adalah sebuah nisan.
“Kea…” panggil Zea pelan. Zea terjatuh di dinginnya salju sambil memeluk nisan sahabatnya. Sungguh tak ada satupun bayangan bahwa Kea-nya telah pergi jauh dan tak akan bisa kembali.
Perih hatinya kehilangan sahabat yang amat berharga di hidupnya. Dengan perasaan sesak ia menumpahkan semuanya. Tak peduli dinginnya salju yang tembus di bajunya, ia duduk di depan pusara Kea.
“Ke, kamu jahat banget sama aku. Katamu, aku sahabatmu. Tapi kenapa kamu malah pergi tanpa ucapan selamat tinggal kepadaku? Kenapa kamu menyembunyikan semuanya Ke?” rintihnya, Rafith pun ikut duduk di samping Zea. Ia mengelus pundak Zea yang naik turun sebab tangisnya. Rafith juga sama terlukanya dengan Zea, ia juga kehilangan seseorang yang amat berharga di hidupnya.
Pak Tua yang sedari tadi diam mengamati tersadar akan sesuatu. Ia ingat sebuah pesan dari Tante Kea untuk menyampaikan sebuah surat yang diletakkan tepat di dekat batu nisan. Pak Tua itu maju menggali salju yang menutupi pusara Kea. Rafith dan Zea sedikit bingung mengapa Pak Tua itu menggali makam yang tertutup salju.
Tangannya menyentuh sebuah benda. Ia mengambilnya, sebuah botol kaca yang di dalamnya terdapat sebuah surat yang dimaksud oleh Tante Kea.
“Dari Kea untuk kalian.” Ucap Pak Tua itu memberikan botol kaca kepada Rafith. Rafith menerimanya. Setelah itu, Pak Tua pamit untuk melakukan pekerjaannya yang tertunda.
Tinggal mereka berdua di makam itu. Rafith membuka surat yang Kea tulis. Ia mulai membacanya pelan.
-----
Zea-ku dan Rafith-ku
Sebelumnya, biarkan sahabatmu ini meminta maaf.
Maaf pergi tanpa pamit, maaf telah pergi sejauh yang tak akan bisa kalian bayangkan, maaf pergi dan tak akan kembali lagi, dan maaf aku pergi untuk waktu yang tak bisa kalian perkirakan.
Ze, Raf, kau tau? Bahagia terbesarku adalah bersahabat denganmu. Entah bagaimana aku bisa setenang ini saat menjelang mautku, yang terbesit saat itu hanyalah kebahagian-kebahagian yang pernah kita untai bersama.
Kalian tau? Ketika surat ini tiba di tangan kalian, itu artinya aku telah pergi. Aku tau aku jahat, jahat menyembunyikan sakit yang selama ini menggerogotiku sampai aku tiba pada penghujung hidupku, sakit itu tanpa belas kasih masih setia berada di sampingku. Aku tau aku tak berperasaan, aku menolak untuk bicara saat kalian bertanya apa aku baik-baik saja. Semua itu karena aku ingin kalian tak terganggu dengan apa yang aku alami. Aku ingin kalian hidup tenang tanpa melihatku lagi dan merasakan hal yang sama menyakitkannya dengan ini.
Bagaimana kabar si kecil? Aku harap kelak ia akan secantik ibunya dan semanis ayahnya. Hai kecil, auntymu ini hanya bisa menyapamu lewat kertas ini.
Ze, Raf, untuk semuanya aku berterima kasih. Kalian adalah sahabat yang terbaik yang pernah aku jumpai. Aku bahagia mengenal kalian. Terima kasih setia menemaniku selama ini. Bahagia selalu, salam terakhirku. Terakhir dan tak aka nada salam yang selanjutnya sebab aku telah terbujur kaku atau bahkan sudah menjadi abu.
Selamat tinggal, Kea.
-----
Dan untuk yang kesekian kalinya, mereka menangisi kepergian Kea.
-tamat-
***
Hai, entah kenapa pengen update cerita ini. Thanks buat yang udah nyuruh aku nulis ini cerita hehe. :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Faith with you
Short Story(Completed) Ze, Raf, kau tau? Bahagia terbesarku adalah bersahabat denganmu. Entah bagaimana aku bisa setenang ini saat menjelang hal itu, yang terbesit saat itu hanyalah kebahagian-kebahagian yang pernah kita untai bersama. -2017 hak cipta dilindun...