Menerima pinangan Gibran adalah suatu anugerah terindah dalam hidup Afra. Bagaimana tidak? Kedua keluarga mereka sudah saling mengenal satu sama lain sejak mereka bersekolah di tingkat menengah pertama.
Yang membedakan; tentang impian Gibran dan Afra; dulu Gibran bercita-cita sebagai ilmuwan dan tidak tercapai karena gagal mendapat beasiswa di Stanford University.
Sedangkan Afra ingin mencoba terjun dalam dunia politik dan tidak tercapai karena larangan sang ayah. Namun, mereka bangkit untuk tetap melanjutkan hidup dengan haluan berbeda. Afra masih menyimpan impiannya sendiri untuk meneruskan pendidikan ke tingkat Magister.
Kini, mereka telah memiliki impian baru yang sama; tinggal di lingkungan tempat tinggal yang tidak terlalu ramai, 2 orang buah hati dan menjadi orang tua yang dapat dibanggakan.
Walau bukan impian yang sempurna seperti kebanyakan orang, namun mereka berusaha menjalani kenyataan hidup tanpa penyesalan.
Di sela resepsi, tanpa sepengetahuan Afra, Gibran telah menyiapkan sepotong rangkaian puisi untuk istri tercinta melalui arahan dari pembawa acara.
Ekspresi wajah Afra terlihat semakin keheranan, saat Gibran menerima mikrofon dari pembawa acara. Setahu Afra, dulu Gibran sangat tidak senang bernyanyi.Jangankan bernyanyi, untuk bicara dengan mikrofon di hadapan orang banyak saja sudah membuat Gibran berkeringat dingin dan terlihat gugup.
Sejenak Gibran mengatur nafas untuk membuat dirinya lebih tenang seiring jantungnya berdegup agak kencang. Setelah itu, Gibran menatap Afra dan menyampaikan tanpa catatan apa pun di tangannya.
Hal itu semakin membuat Afra merasa canggung dan berusaha melawan dirinya sendiri yang dilanda kegugupan.
Pada satu purnama, aku menyimpan asa dalam do'a
Purnama yang tak selalu datang, namun benar ada
Entah sudah berapa purnama
Berpijak seorang diri dalam hutan rimba
Bukan hampa, aku hanya ditempa rindu sebuah nama
Aku tahu, suatu saat hatiku kembali berpulang
Pada hatimu dalam purnama yang tak aku inginkan menghilangPara tamu undangan praktis menjadi ikut terbawa suasana yang tercipta antara hubungan yang terjalin pada Gibran dengan Afra.
Mereka kemudian malah bertepuk tangan, walau ada juga yang menangis terharu. Hal itu membuat Afra tersipu malu sembari mengungkapkan terima kasih dan menggenggam kedua tangan Gibran dengan erat.
Tak ada yang membuat Gibran merasa bahagia, melihat Afra tersenyum olehnya. Sejenak Afra teringat oleh ucapan ibunya; saat menikahi orang yang kamu cintai adalah pilihan. Namun, mencintai orang yang menikahi kamu adalah kewajiban. Lillahi ta'ala.
Menempati rumah baru dengan status kontrak bersama orang asing yang telah rela meninggalkan keluarga masing-masing, mengharuskan mereka saling beradaptasi.Setiap orang bisa saja berubah seiring berjalannya waktu. Pengalaman, pemikiran, pergaulan dan penilaian orang lain terhadap diri sendiri tentu sangat berperan dalam membentuk kepribadian baru.
Mulai dari Afra yang tidak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala, lalu kebiasaan Gibran yang terbangun pukul 02.35 WIB sementara Afra masih terlelap dalam kelelahan yang membekas. Dengan perlahan, Gibran mencoba untuk membangunkan Afra.
"Sayang, bangun.. Tahajjud yuk!"
Afra bergeming.
"Sayang..." Gibran kemudian membuka selimut dan hendak melipatnya.Tetapi, tanpa dugaan Gibran, Afra malah menarik kembali selimut itu.
Melihat tingkah Afra, membuat Gibran mengambil segelas air dari dapur dan memerciki wajah Afra beberapa kali.
"Aduh.. Ini air apa sih?!" Afra kemudian membuka mata. Mendapati Gibran yang tersenyum karena merasa berhasil membangunkan istrinya."Maaf ya, Sayang... Aku hanya ingin membangunkanmu untuk tahajjud."
"Ini masih terlalu malam..." Afra melihat ke arah jam dinding. "Aku masih capek dan butuh istirahat yang cukup!" Afra meninggikan suaranya.
Gibran tidak menanggapi lagi. Melainkan beranjak untuk melakukan wudhu dan ibadah tahajjud. Sedangkan Afra tidak juga melepaskan selimut. Kedua matanya terasa berat untuk terbuka lama.
Gibran berusaha mengerti sikap Afra, karena Afra yang paling sibuk memantau keadaan saat resepsi lalu dengan bantuan saudara-saudari dari keluarga besarnya yang bersedia menjadi panitia.
Selesai menunaikan ibadah, Gibran kemudian beranjak keluar dari kamar. Pikir Afra sebelumnya; Gibran akan melanjutkan tidur sampai adzan subuh nanti. Rupanya, dugaan Afra salah.
Tak lama, Gibran kembali ke dalam kamar untuk menyortir beberapa pakaiannya dari lemari. Afra kembali terbangun. Gibran pun meminta pendapat Afra sembari menunjukkan pakaian demi pakaian.
"Sayang, menurutmu hari ini aku pakai yang mana?"
"Bukannya terlalu cepat, kalau kamu bekerja hari ini?" Afra malah berbalik tanya.
"Aku minta maaf, Sayang, hari ini aku nggak bisa libur. Ada laporan yang harus aku buat. Insya Allah besok aku akan mendapat cuti selama 7 hari ke depan."
"Alhamdulillah, kalau begitu." Afra menanggapi datar.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku; pakaian yang mana menurutmu?"
"Terserah kamu saja. Kamu nggak perlu bergantung padaku untuk menentukan pilihan!"
Gibran hanya bisa menghela nafas dan mengembuskannya perlahan agar tidak terpengaruh oleh ketegangan suasana yang tak pernah diharapkannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerber - Merindu Purnama [Completed - TELAH TERBIT]
RomanceCerita tentang kisah cinta antara Gibran dan Afra. Rumah tangga Gibran dan Afra tidak berjalan mulus semudah dibayangkan. Gibran harus menghadapi sikap Afra yang menyebalkan. Apalagi Afra diketahui mengalami keguguran pada kehamilan pertama. Sampai...