Bab 4

751 98 5
                                    

"Seijuurou-sama," suara seorang pelayan terdengar dari balik pintu kamar. "Tuan Besar meminta Anda makan bersama sekarang."

Pena yang sejak tadi hanya digerakkan tanpa digunakan bergulir jatuh ke lantai berkarpet. "Aku akan segera ke sana," katanya.

Kamar yang luas itu tidak pernah ramai. Seolah mewakili seisi mansion—tapi juga menjadi satu-satunya tempat dimana Akashi tidak membiarkan sang ayah mendaratkan seujung jaripun di sini. Ketika rumah dipenuhi dengan suasana Viktorian, Akashi memberi nuansa monokrom minimalis pada tiap perabot.

Setidaknya, ia bisa sedikit—lebih baik daripada tidak sama sekali—merasakan kebebasan di ruangan ini.

Kepalanya diusap sekali. Dua kali. Tiga kali. Jemari-jemari panjang menelusuri helai rambut, menembus kulit kepala, lalu memijatnya perlahan-lahan. Sakit kepala sialan itu tidak juga sembuh.

Agak cemas, ia langsung menelepon Mibuchi sore itu—entah kenapa dia memutuskan untuk menelepon manusia yang satu itu—bertanya, "Aku langsung pulang setelah latihan, kan?"

Lawan bicaranya di seberang telepon keheranan, tapi dengan senang hati menjawab, "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Tanya saja pada teman-teman yang lain, mereka melihatmu keluar dari ruang ganti, kok." Suaranya berubah khawatir setelah itu. "Kau baik-baik saja, kan, Sei-chan? Tidak sakit atau semacamnya? Aku punya kerabat yang bisa menyembuhkan sakit kepalamu itu—"

Merasa tidak perlu mendengar ceramah lebih panjang, ia memutuskan untuk mematikan sambungan.

"Mereka melihatku keluar dari ruang ganti," gumamnya. "Tapi mereka tidak melihatku berjalan pulang."

Akashi menggigit bibir. Terakhir kali ia terserang sakit kepala sesering ini adalah ketika insiden itu muncul. Saat-saat ketika ia kehilangan kesadaran, dan terbangun di tengah situasi asing—astaga, dia tidak ingin mengingatnya lagi.

Ketika ia melihat ekspresi Natsume pagi ini, rasa cemasnya memuncak. Ada sesuatu yang disembunyikan olehnya—dan dia sama sekali tidak tahu apa itu.

Jangan-jangan... rambut kemerahannya sudah mencuat ke mana-mana karena terus dijambak. Ia mengeluarkan tawa ringan, sarat kekhawatiran. "Hal itu tidak mungkin terjadi lagi, kan?"

Buku-buku yang menumpuk di atas meja ditumpuk rapi. Sastra Jepang, sejarah Jepang, matematika tingkat lanjut, extended science—ia sendiri sudah kenyang dijejali buku-buku itu.

Tapi mau apa lagi, Akashi Masaomi, sang ayah, begitu mengedepankan pendidikan.

Tidak—ia mendewakan kesempurnaan. Ia adalah penggerak catur, sedang Akashi berperan sebagai pionnya. Dan, lagi-lagi, itu adalah topik yang lebih baik tidak dibawa kembali ke permukaan ingatan.

Merapal mantra—makan malam ini tidak akan lebih lama dari setengah jam—ia meninggalkan kamar tidur.

.

.

Tiga kilometer dari kediaman keluarga Akashi, Natsume masih meributkan berbagai macam deduksi. Madara yang mengeluh tidak kebagian jatah makan makanan ringan merajuk dengan berubah wujud.

"Akashi-san agak aneh." Lembar kertas di atas meja tidak lagi bersih—sudah dicorat-coret sedemikian rupa. Panah di mana-mana, berusaha menghubungkan satu peristiwa dengan fenomena lain. Tiap katanya dilingkari berkali-kali hingga melubangi kertas. "Tidak—semuanya aneh. Sawamura-san jadi takut padaku, padahal aku sudah nyaris berhasil mengorek informasi. Akashi-san sama sekali tidak membahas masalah kemarin, padahal sore itu dia—" ujung pena menodai tepi kertas.

[COMMISSION] Eyes [Akashi x Natsume]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang