Bab 8

470 81 4
                                    

Ketika kau memasuki kediaman milik keluarga Akashi, duniamu seolah-olah begitu busuk dan tidak berharga.

Rumah itu disebut mansion. Bangunan raksasa dengan puluhan kamar, yang lucunya hanya dihuni oleh dua tuan rumah. Halaman depannya luas dan kerap digunakan sebagai lapangan golf.

"Kami biasa menggunakan halaman belakang untuk berkuda," terang Akashi selagi keduanya menapaki tangga menuju pintu depan. "Terakhir kali aku naik kuda adalah tiga tahun yang lalu—dan sekarang kami membayar orang untuk mengajak kuda-kuda kami jalan-jalan. Apa sensei juga suka kuda?"

"Aku lebih suka saus umami[1]."—tidak perlu ditebak jawaban makhluk itu seperti apa. "Rumah sebesar ini memangnya buat apa? Main sepak bola? Kau dan ayahmu masih suka main kakurenbo, ya?"

Akashi memilih untuk tertawa saja. "Jadi penasaran," celetuknya, "Bagaimana caranya Natsume bisa betah tinggal bersamamu."

"Terbalik," tukas Madara. "Harusnya aku yang ditanya begitu. Biar kuberitahu, ya, Natsume itu senang sekali melamun. Aku bicara saja tidak didengar."

Entah kenapa, pembicaraan soal Natsume meningkatkan minat Akashi untuk mendengarkan ocehan si kucing. "Memangnya sensei terbiasa bicara apa dengan Natsume?"

"Apa saja—kok malah tanya-tanya." Pipi bulat mengembung. "Aku mau makan, Akashi Seijuurou. Bukannya diberi makan segala macam pertanyaan."

Kembali Akashi tertawa. Di dalam otaknya, ia membayangkan betapa menggemaskannya wajah Natsume jika ia mengembungkan pipi. "Baik, baik." Dan jarinya menyentuh tombol bel. Suara dentang lonceng menggema dari dalam.

"Sekarang, lompatlah ke sini." Akashi membungkuk, kemudian membentangkan kedua tangannya ke arah Madara. "Sensei harus benar-benar terlihat seperti kucing kalau mau makan enak."

Kucing itu menguap lebar-lebar, lalu melompat dengan enaknya ke dalam pelukan Akashi. Ketika laki-laki itu akhirnya berdiri, tatapan Madara terhalangi oleh setelan resmi yang dikenakan oleh seorang pria paruh baya.

"Selamat datang kembali, Tuan Muda Seijuurou," sapa pria itu seraya membungkuk. Saat kembali menegakkan tubuh, ia bertatap muka dengan Madara. "Anda membawa... tamu, rupanya."

Akashi begitu santai memberikan jawaban, "Ya. Kucing ini titipan temanku. Mungkin petang ini—atau besoknya—kukembalikan." Ia tidak langsung masuk, melainkan melongokkan kepala ke dalam rumah. Suaranya merendah ketika bertanya, "Ayah ada?"

"Masaomi-sama harus bekerja lembur dan tidak akan kembali sampai sekurang-kurangnya tengah malam," Madara, kemudian, baru sadar kalau pria yang sedang Akashi ajak bicara adalah seorang kepala pelayan. "Apakah saya perlu menghubunginya?"

Dan jawaban berikutnya meluncur cepat. "Tidak. Tidak perlu." Dengan ujung jari kaki, ia melepas kedua sepatunya. "Tolong jangan beritahu ayah kalau aku membawa kucing ke rumah. Dia tidak suka kucing."

"Paham, Tuan Muda."

Kaki Akashi yang masih berbalut kaus kaki berderap di sepanjang ruang tengah. Madara mengagumi pernak-perniknya yang begitu mewah, lampu kandil di langit-langit, serta lukisan raksasa bergambar potret keluarga.

Diam-diam ia mendengus. Ternyata selera Natsume tinggi juga. "Kukira hubunganmu dan ayahmu cukup baik," ujarnya dengan seringai tidak menyenangkan. "Ternyata tidak juga, ya."

Telapak tangan Akashi yang bebas membelai permukaan bulu Madara. Sialnya, insting kucing Madara pun menikmati belaian itu. "Memang tidak," sahutnya ringan. "Ayah tidak pernah memedulikanku. Dia hanya peduli pada pencapaianku."

[COMMISSION] Eyes [Akashi x Natsume]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang