Sepeda Alien Itu Rusak Lagi

1.1K 36 0
                                    

Made Sanjaya nama bocah itu. Usianya empat belas tahun, dan dia mendadak menjadi robot super sibuk. Setelah Pak Guru Sudarma, wali kelasnya, menciduknya tiga bulan lalu karena kedapatan menyimpan aset berharga di dalam kepalanya, seluruh sarafnya menegang dan tak bisa diredam. Wali kelasnya yakin bahwa anak kelas delapan yang bisa memecahkan soal aljabar dan trigonometri nyaris tanpa membuat coretan adalah tambang prestasi di tahun itu. Anak itu tidak boleh dibiarkan lepas begitu saja,—menghabiskan waktunya berceloteh di bantaran sungai dan mengunyah singkong rebus di ladang. Dia harus dibuat sadar bahwa dia bisa melakukan hal yang jauh lebih mengesankan daripada memetik bunga pacar.

Sore di persawahan Desa Dalem penuh warna lembayung, dan itu berarti sesi permainan anak-anak harus segera diakhiri. Mereka harus pulang sebelum matahari terbenam dan kabut merapat turun hingga esok pagi. Malam selalu dingin dan pekat. Desa itu sepanjang tahun dibalut kabut kekal dan malam berembun yang panjang.

Jalanan kerikil itu membelah persawahan nun jauh ke arah barat, dan petani biasa berlalu-lalang di sana setiap hari untuk pergi ke ladang atau sawah basah. Sebuah sungai kecil dengan air bening menyelundup di bawah jalan. Tak terlampau dalam, dengan pecahan bebatuan hitam mulus di dasarnya yang masih terlihat jelas dari permukaan. Airnya cukup membuat badan menggigil bagi anak-anak kota yang pulang kampung kala musim berlibur, mengantar mereka dalam babak tragedi demam selama beberapa hari. Hanya beberapa kilometer saja ke utara, mata air besar memuntahkan air dari perut bumi tanpa henti, terpecah menjadi beberapa anak sungai yang sama beningnya. Anak-anak desa biasa menghabiskan waktu senja mereka untuk berenang dan bercanda di badan sungai, membius kepala mereka yang sudah nyaris beku karena enggan belajar.

"Itu Made!" pekik seorang remaja dengan suara melengking sambil menunjuk. Wajah polosnya mekar bertabur butiran air bening yang meluncur turun dengan cepat, bermuara di dagunya yang meruncing.

Ada lima anak sebaya yang tengah basah kuyup sehabis bermain air di sungai. Seorang anak pendek dengan kulit kehitaman dan rambut basah yang acak-acakan menyipitkan matanya lalu berseru, "Oi, Made!"

Tatkala semua anak itu melambai, gurat tulang-tulang iga mereka menyembul di dada, mendongkrak kulit mereka yang rata-rata berwarna tembaga karena kerap berjemur.

Lamunan Made Sanjaya buyar. Tidak mungkin membalas panggilan itu dengan lengkingan balasan. Jarak mereka masih lumayan jauh. Panggilan kawan-kawannya yang bersemangat itu tidak cukup membuat energi badannya bertambah bahkan hanya untuk sekadar berlari-lari kecil atau melambai.

"Kenapa dia tidak menaiki sepedanya?" celetuk salah seorang dari anak-anak itu.

"Paling-paling rusak lagi seperti biasa," anak yang lain memprediksi.

Anak satunya tertawa cekikikan, menunjukkan gigi-giginya yang gingsul. "Lihat," telunjuknya terbentang lurus. "Dia mencukur rambutnya lagi!"

"Otaknya pasti kepanasan," sambut anak pertama. Dia mengikuti irama tawa rekannya. "Nanti kuceburkan dia ke sungai."

Semua orang suka Made. Kalau anak itu tersenyum tengil,—senakal apa pun perbuatannya—tak akan ada orang yang tega memarahi bocah manis berlesung pipi itu.

"Ke mana saja kamu, De?" tanya si anak bergigi gingsul. "Sudah lama tidak mandi sama-sama."

Made berhenti di bantaran sungai, mempelajari wajah kawan-kawannya satu per satu. "Akhir-akhir ini aku sibuk," balasnya datar. Lagipula, apakah mandi bersama-sama di sungai saat usia sudah empat belas tahun adalah suatu keharusan? Itu bisa jadi hal yang cukup memalukan.

"Sibuk mencari bunga?" balik temannya.

Made mengangguk lemah. Siapa pun yang melihatnya saat itu pasti bisa bertaruh bahwa anak itu akan langsung rebah tak sadarkan diri di ranjangnya setiba di rumah.

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang