Made membuka mata. Pagi lagi. Tatkala dilihatnya cahaya matahari sudah memasuki kamar dan memamerkan binarnya yang putih terang, dia mengerti bahwa hari kiamatnya akan datang lagi. Di balik selimut yang hangat, hatinya gundah. Dia mulai pening membayangkan bagaimana akan memakai celana seragam dan sepatu pada saat bersamaan, melilitkan dasi di lehernya seperti seorang remaja depresi yang bersiap gantung diri dan mengebut di tepi jalanan bagai dikejar anjing kacang milik tetangga. Semua bayangan adegan itu berkelebat-kelebat di balik kedua matanya yang sembap.
Dia seketika meringis saat seluruh persendiannya berkerimutan. Dadanya beku dibelit rasa perih yang mengakar hingga relung-relung rusuknya. Perih menusuk-nusuk badannya memaksanya menyerah dan rebah kembali di tempat tidur.
Pikirannya menerawang. Hal terakhir yang diingatnya kemarin malam adalah Komang Adi memaksanya tetap sadar sepanjang jalan. Sahabatnya memegangi tangannya agar pegangannya tidak terlepas. Berkali-kali Komang Adi menyuruhnya bersandar di punggungnya. Dia ingat ketika Komang Adi nyaris menabrak pintu pagar rumahnya. Kakaknya datang dan merangkul tubuhnya yang lemas. Setelah itu, dia lunglai di rangkulan lengan-lengan kakaknya yang letih. Dia tidak ingat apa-apa lagi sampai terbangun dan mendapati dirinya terselimuti.
Kerongkongannya yang kering kerontang menggelitik. Sederet suara batuk mengguncang dadanya. Rasa sakit di dadanya kembali meradang akibat guncangan itu. Dia menarik napas sangat pelan. Hanya bisa pasrah kala menyadari bahwa badannya terasa remuk. Ketika dia mencoba memiringkan badan, dia mencekal gigi-giginya karena perutnya pun tidak bisa dilemaskan. Otot-otot perutnya masih tegang. Disibaknya selimut dengan pelan hingga menutupi separuh kaki. Dia terperanjat. Dadanya tampak membiru dan menyebarkan rasa sakit yang berdenyut-denyut dengan keras. Semakin dia menatap lebam di dadanya, semakin mengkal rasa sakit itu menggigitnya. Dia tak mengingat berapa kali dadanya tertimpa hantaman orang misterius itu.
Dan itu berarti, dia tidak bisa sekolah pagi itu—sebuah mimpi buruk lain.
Dengan mengandalkan kedua kaki, selimut yang menutupi separuh tubuhnya terdorong sempurna. Setelah beberapa saat berjuang membalikkan badan, dia berhasil menyeret badannya ke tepi ranjang lalu menyandarkan punggung ke dinding. Terjangan rasa perih bertubi-tubi di dadanya menguras habis tenaganya.
Pintu berdecit terbuka saat kedua kakinya menyentuh lantai.
"Bli Yan," sambutnya lemah. Dia menatap sekilas wajah yang menyeruak dari balik pintu, lalu menunduk, meratapi dada dan perutnya yang meradang.
Darsana bergegas masuk dengan segelas air dan sepiring bubur panas. Melihat Made tersadar dari pingsannya membuat Darsana lega. Segera dia meletakkan gelas dan piring di atas meja, mendekati adiknya, duduk di tepi kasur lalu mengusap kepalanya—memastikan kalau kondisinya sudah membaik.
Made bergidik saat kakaknya mengusap rambutnya.
"Bli tidak bisa tidur semalaman," ungkapnya. Rasa cemas yang pekat mengalir pucat di kerutan wajahnya. "Bli benar-benar khawatir."
Made menjawab dengan kedipan mata. Setelah beberapa saat ia baru menjawab, "Saya baik-baik saja, kok."
"Kau sama sekali tak mengenali mereka?" Kakaknya lanjut menginterogasi sebelum pengalaman pahit itu telanjur terkubur dalam ingatan.
Gelengan kepala Made menjawab pertanyaan itu.
"Pagi ini Bli antar kau ke puskesmas," lanjut Darsana. "Setelah itu istirahatlah."
"Apa Meme tahu?" pertanyaan Made berbelok tajam.
"Jika luka di kepalamu cukup parah, tentu Meme akan tahu," jawab kakaknya. "Bli tak memberi tahu siapa pun. Bli hanya bilang badanmu panas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionDelapan besar novel pilihan International Novel Writing Contest yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2017. Novel ini telah beredar di toko-toko buku di seluruh Indonesia dan juga dapat dibeli online (denga...