Made mempercepat langkahnya. Tak ada siapa pun di koridor dan semua ruang kelas telah senyap. Beberapa robekan kertas terseret angin di lantai keramik yang putih, dan burung-burung gereja yang bermain-main kadang hinggap di daun pintu sambil mengeluarkan suara kicauan yang berdecit.
Matanya sibuk mencari-cari jam. Jujur saja, perutnya sudah tidak diisi sejak tadi pagi. Hingga sesiang itu pun dia bahkan tak meminum setetes air. Perutnya sudah lelah unjuk rasa sejak seleksi olimpiade itu dimulai dua jam sebelumnya. Dengan sedikit ketahanan terakhir, Made dapat menyelesaikan soal-soalnya dengan nilai di atas awan, tetapi akibatnya tenaganya benar-benar berada di bawah standar. Jika sebuah lampu dipasang di dadanya, maka lampu itu akan berkedip-kedip merah seperti Ultraman sekarat.
"Jam setengah dua siang," seseorang menyeletuk di belakangnya.
Made terkesiap. Anak itu muncul entah dari mana, tanpa suara, tanpa jejak langkah.
"Terima kasih," balasnya. Tangan kirinya menggenggam erat tali tasnya yang melintang dari bahu kiri ke pinggang kanan. "Kali lain jangan suka mengagetkan orang."
Anak perempuan itu terkekeh. "Kadang-kadang kamu harus sedikit lebih santai," ujarnya kemudian. Cahaya matanya yang bening membias di balik kacamatanya. "Gelagatmu mudah ditebak. Kamu tidak cocok jadi artis."
Dia tak terlalu mencerna kata-kata anak perempuan itu. Konsentrasinya terfokus pada dapur rumahnya dengan nasi bercampur serpihan singkong kotak-kotak yang kuning-emas, sejumput sambal kacang undis yang hitam, beberapa potong tempe yang dipanggang, dan sesendok besar sayur bayam dengan butir-butir jagung kesukaannya.
Jayanti, nama anak perempuan itu. Perawakannya ceking dengan rambut panjang sepinggang yang dijalin dua. Sepasang pita putih melilit ujung rambutnya yang bergelantungan di punggungnya, dan karena langkahnya semakin cepat, ayunan rambutnya menjadi semakin liar. Seragamnya tampak rapi seperti anak-anak perempuan pada umumnya. Sebendel buku,—entah buku pelajaran apa—dicengkeram kedua tangannya. Buku-buku itu sepertinya sudah tidak muat lagi masuk ke dalam tas sekolahnya yang kelihatan hampir meletup karena kepenuhan. Muka anak itu bundar cerah, hidungnya sedikit mancung. Lehernya pendek terbalut kerah seragam dengan dasi biru yang terpasang lekat dan sempurna. Tak seperti anak laki-laki yang hampir tak pernah mengenakan dasi dengan benar, kala siang terik seperti itu, paling-paling mereka biasanya telah melepas dasi mereka dan menggantungnya di leher karena kepanasan.
"Bagaimana rasanya terlambat masuk kelas?" pertanyaan Jayanti memancing. Mata minusnya yang cerah mengamati perubahan raut di wajah Made dari balik lensa kacamata miopinya. Dia ingin menyelidiki seberapa banyak pengaruh kejadian terlambat tadi pagi terhadap emosi anak itu.
"Kakakku tidak membangunkanku," Made berterus terang, walaupun ia agak cangung. Anak perempuan pastinya lebih rajin bangun. Tidak ada abang yang sampai tega memukul adik perempuan dengan gagang sapu hanya untuk membuatnya bangun.
Kepala Jayanti melenting ke depan mendengarnya. Degup tawa dalam dadanya mendadak ingin tertumpah keluar. "Apa?" lengkingnya cengking. "Kamu masih dibangunkan abangmu?"
Di balik kacamata dan wajahnya yang terlihat pendiam dan serius, Jayanti memiliki mata yang tak hanya indah, namun tajam. Dia tak seperti anak perempuan kebanyakan,—dia punya daya analisis yang kuat dan memikirkan matang-matang segala sesuatu yang dikerjakan dan diamatinya. Dia adalah pengamat yang baik,—memperhatikan setiap detail, warna, corak dan gaya. Tata bahasanya tidak murahan. Terkadang Made juga belajar bagaimana caranya berbicara dari gelagat Jayanti. Apabila Sujana mengeluarkan kosa kata luar negerinya, hanya Jayanti yang berani menantangnya dengan kata-kata ilmiah yang bagaikan mantra-mantra aneh penangkal ilmu sihir.
"Tentu saja masih," suara Made bergetar. Dia sudah terlanjur mengatakan sebuah aib yang cukup menggelikan bagi anak-anak SMP. "Ya..., kadang-kadang. Kalau aku kelelahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionDelapan besar novel pilihan International Novel Writing Contest yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2017. Novel ini telah beredar di toko-toko buku di seluruh Indonesia dan juga dapat dibeli online (denga...