Lampu-lampu kuning berderet rapi di tepi jalan desa, mengintip di celah reranting pohon-pohon besar yang teduh dan temaram kala senja. Nyaris tak ada lagi orang yang lalu lalang di jalanan sekitar sana. Bahkan para petani pun sudah masuk rumah dan merebahkan diri di dipan yang nyaman sambil meratapi tulang-tulang mereka yang keremutan.
Sore itu selembar kabut tipis turun menggenangi udara. Saat kota-kota besar di selatan seperti Denpasar, Mangupura, atau Gianyar memulai aktivitas malam yang penuh lampu warna-warni, festival-festival tanpa henti, jalanan yang bising, kafe-kafe atau pertokoan yang sesak, Desa Dalem telah hampir meringkuk dalam malam yang tenteram beratap bintang. Penduduknya cukup nyaman merangkul selimut sambil menikmati makan malam hangat yang sederhana, ditemani adegan-adegan dalam TV yang memancing tawa, atau menyiapkan barang dagangan untuk esok hari.
Pintu pagar kayu terbuka. Made sampai. Digiringnya sepedanya ke sisi rumah. Entah dari mana datangnya segala kekesalan itu. Bagaikan sebuah gunung berapi yang menahan murka selama berabad-abad, anak itu tiba-tiba menjelma menjadi manusia super! Ditendangnya sepeda tua itu dengan tenaga penghabisan yang laknat. Sepeda tua itu takluk pada tendangan tuannya, sesaat melayang di udara, meluncur lalu mendarat terhempas pasrah di tembok balai.
Bunyi benturan itu merambat hingga ke dalam dapur. Darsana, si abang, mengintip dari balik jendela dapur. Matanya menyipit, penuh tanda tanya.
"Siapa itu?" tanya seorang perempuan paruh baya di sampingnya. Jemarinya tenggelam dalam adonan berwarna hijau, menggeliat-geliat gemulai, memastikan seluruh tepung dalam adonan itu tidak menggumpal dan merusak semua prosedur resepnya. Rambutnya tergulung dalam tengkuluk bercorak biru yang halus. Kaos hijaunya ternoda motif-motif bundar yang cerah dari percikan adonan.
"Siapa lagi kalau bukan Made," jawab Darsana. "Entah apa lagi yang tejadi padanya."
"Coba kamu lihat dia, Yan," perintah ibunya. Dia tak bisa begitu saja memutus konsentrasinya pada adonan yang sedang digarapnya.
"Biarkan saja, Meme," Wayan Darsana menukas. "Nanti juga reda sendiri."
Namun ibunya seakan tak puas dengan lagaknya. Darsana bangkit malas dan bergegas keluar.
Setelah melempar dua tas kresek besar bunga pacar ke lantai, Made tersungkur begitu saja. Dia menyerah pada rasa lelah, menikmati lambaian angin senja yang tipis. Dia ingin melupakan semua kejadian tolol yang terjadi pada dirinya hari itu. Kesadarannya mulai terbuai, larut, dan meredup.
"Made," seseorang memanggil namanya.
Suara abangnya. Tiba-tiba saja semua kenyamanan itu sirna.
Made membuka matanya setengah. Wajah kakaknya saat itu hanya akan membumbui kekesalannya. Ditutupnya kembali matanya dengan cepat. Dia samasekali tak ingin diganggu dalam wujud apa pun.
Namun Wayan Darsana punya cara lain. Pemuda berambut pendek itu memakai kemampuan jemarinya. Dengan tanpa ampun, dia mencekal pinggang adiknya dan mulai menggelitikinya. Tak kuasa lagi menutup mata, Made terbelalak kaget dan menggeliat geli.
"Bangun! Bangun!" abangnya berteriak sambil tanpa berhenti mencekal dan menggelitiki pinggang Made yang berlekuk. "Tidak baik tidur saat senja!"
Si adik mengerang tatkala rembetan rasa geli menjamah pinggangnya dan menegangkan sarafnya lagi. Wajah anak itu berakhir kusut tak keruan, setengah tersenyum dan setengah mangkal. Ekspresi yang benar-benar tanggung.
"Mengapa kaulempar sepedamu?" Darsana bertanya, duduk sigap di samping adiknya. "Apa salahnya?"
Hanya dengusan napas yang didapat Darsana sebagai jawaban.
Darsana mengayun-ayunkan badannya sambil memikirkan kata kunci selanjutnya untuk membuka mulut adiknya itu. Potongan rambut mereka nyaris sama. Hanya saja, rambut adiknya saat itu sudah lebih pendek. Dua hari yang lalu Made menengadahkan tangan kepadanya, meminta uang dua puluh ribu rupiah untuk memotong rambut di tukang pangkas. Itu harga yang lumayan tinggi. Sepuluh ribu lagi pastinya bakal disembunyikan si adik untuk membeli makanan-makanan aneh di kantin sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionDelapan besar novel pilihan International Novel Writing Contest yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2017. Novel ini telah beredar di toko-toko buku di seluruh Indonesia dan juga dapat dibeli online (denga...