Komang Adi menggoyangkan kepalanya lalu menurut. Dia menggeser sakelar lampu motornya dengan ibu jari kanan. Lampu itu seketika padam. Kegelapan tiba-tiba menyeruak ganas di depan mereka. Komang Adi memelankan laju gasnya, membuat motor itu memelan sempurna di buntalan malam.
"Kamu lihat itu, Mang?" telunjuk kanan Made menunjuk sesuatu di langit.
Komang Adi tidak bisa melihat telunjuk itu dengan jelas, hanya kilasan bayangannya saja yang sama-sama gelap. Namun dia tahu, Made sedang menunjuk ke angkasa. Kepalanya ikut mendongak. Dia meninggikan helmnya.
"Wah!" desis Komang Adi tatkala matanya menyorot arah yang ditunjuk Made. Kedua matanya menangkap gambar antariksa yang terbentang luas di atas kepala mereka. Tatkala kegelapan menyelimuti di bawah sana, hamparan bintang dengan warna-warna yang beragam menjadi semakin tajam dan cerah di angkasa. Sederet bintang besar mengerling di arah selatan, berpesta pora dengan jutaan kawannya di langit sebelah timur. Angkasa menjadi begitu ramai. Semua bintang itu bak saling berkomunikasi dengan mengedipkan diri mereka. Dari atas cakrawala hingga titik tertinggi, semua bintang itu bagaikan mengamati Bumi dalam keheningan malam, menarikan kerlipan cahaya alam yang tak sering dipedulikan manusia.
Tangan Made mencekal bahu sahabatnya. "Itu galaksi Bimasakti," jelasnya lalu menunjuk deretan kabut tipis yang terbentuk dari cahaya bintang putih yang tak terhingga banyaknya di angkasa. Telunjuk Made mengikuti bentangan kabut bintang itu dari utara ke selatan. Mata Komang Adi mengikuti gerak telunjuk kawannya. Setelah beberapa saat berada dalam kegelapan, dia mulai bisa melihat dengan lebih jelas. Itu sebuah pemandangan yang luar biasa. Kegelapan itu membuatnya masuk dalam sebuah dunia yang baru.
"Rasi bintang itu namanya Kartika," telunjuk Made menyapu angkasa, mengarah ke gugusan bintang mungil yang nyaris bersembunyi di hamparan padang bintang itu. Gugusan tujuh bintang itu menyambut pandangan Komang Adi dengan kerlingan tipis yang tak seragam.
"Kamu,—" Komang Adi menatap sahabatnya. "Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Buku," jawab Made pendek.
"Cih," Komang Adi menepis kagum. "Sempat-sempatnya kamu membaca hal-hal macam itu."
"Hei," Made mengalihkan topik. Telunjuknya menunjuk segugus bintang besar di atas kepala. "Lihat! Itu Capricorn. Bintang kelahiran kakakku."
"Jadi bentuk aslinya seperti itu?" Komang Adi menengadahkan kepalanya lalu menganga takjub. Ini bukan soal matematika, tetapi masalah perbintangan pun membuatnya kebingungan. Bedanya, bintang-bintang yang rumit ini membuatnya terpesona, sedangkan matematika membuatnya mati kutu. "Kalau bintangku yang mana De? Aku Leo."
"Bulan-bulan ini Leo baru kelihatan di timur kalau sudah pagi," terang Made. "Kamu bisa melihatnya jam lima besok pagi. Bentuknya seperti Spink."
"Apa? Spink?" lidah Komang Adi bergelemut mengucapkannya. "Apa lagi itu?"
Made bergumam rendah. "Patung singa besar berkepala manusia di Mesir," terangnya. "Bukannya kamu punya mesin pencari di ponselmu?"
Komang Adi tersipu. Jika saat itu siang hari, akan terlihat wajahnya merah menanggung malu. "Jujur saja," ungkapnya. "Aku lebih suka main game daripada menghapalkan sejarah Mesir kuno."
Ada lagi tawa ringan di bibir Made. Rupanya, kerlingan bintang-bintang di angkasa malam itu benar-benar membuat Komang Adi terpana. Pemandangan seperti itu sudah lumayan jarang terlihat bahkan di pedesaan karena banyaknya cahaya lampu. Paling-paling dia hanya bisa melihat langit malam bertabur bintang pada hari Nyepi saya, saat semua lampu dipadamkan. Saat Nyepi pun dia tak terlalu memperhatikan langit seserius dan sedetail yang dia lakukan malam itu. Ia lebih memilih bungkam di kursi malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionDelapan besar novel pilihan International Novel Writing Contest yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2017. Novel ini telah beredar di toko-toko buku di seluruh Indonesia dan juga dapat dibeli online (denga...