Pintu terbuka. Komang Adi pertama-tama keluar menyeruak dengan sederet tawa, diikuti Made Sanjaya dan Putu Yasa yang membuntuti mereka. Setumpuk buku pelajaran berjejal terjepit di tangan mereka. Putu tengah sibuk memasukkan buku-buku itu ke dalam sebuah tas drawstring hijau, sementara Made menitipkan buku-bukunya di dalam tas Komang Adi yang restletingnya tak bisa ditutup karena kepenuhan.
Darma, anak si pemilik rumah, adalah teman sebangku Made Sanjaya, dan malam itu mereka berempat bersepakat menjadikan rumahnya sebagai markas belajar kelompok. Malam itu Putu Yasa telah menghabiskan separuh kaleng besar biskuit gandum kering bertabur kismis milik tuan rumah. Sementara itu, Made hanya sanggup menghabiskan separuh batang biskuit karena tatkala kismis itu menyentuh lidahnya, dia tidak sanggup lagi makan. Geliat kismis basah di lidahnya membuatnya membayangkan sedang mengulum seekor siput.
Dasar anak desa.
Darma menekan tombol di sisi ponselnya. Layar ponsel itu menyala terang kebiruan. Sebentuk jam terpampang di layar dan memantul di bola matanya. "Sudah jam sembilan," dia mengumumkan. Ponsel semacam itu sudah menjadi barang murah yang dipajang di mana-mana dengan fungsi yang beragam. Bahkan penjaga parkir di pasar desa pun memilikinya. Benda itu seakan lebih berharga daripada makanan. Beberapa orang lebih rela cedera parah daripada kehilangan ponselnya.
Sudut mata Made turut melirik jam digital pada layar ponsel itu. "Kalau begitu," cetusnya ringan. "Kami pulang dulu ya!"
Darma mengangguk. "Jangan lupa besok," ingatnya kembali. "Nanti aku sendiri yang tanggung jawab print."
Teman-temannya mengiyakan dengan sebuah paduan suara yang kompak dan cetar. Komang Adi merogoh sakunya sembari turun dari tangga menuju gerbang depan. Kakinya sibuk meraba-raba lantai, menemukan pasangan sandal yang cocok, sementara tangannya merayapi saku tempat dia menyimpan kunci motornya.
"Kita lewat jalan utama di Abiantemu saja," Putu Yasa mengusulkan. Dia menemukan kunci sepeda motornya yang terselip di bagian terdalam saku celana. Ujung logam kunci itu berkilat memantulkan cahaya lampu. "Lebih terang kalau lewat sana. Lagipula, jujur saja aku takut pulang sendirian malam-malam."
"Baiknya sih begitu," Darma setuju. "Tapi kalau ingin cepat sampai rumah, lewat pertigaan Lawang saja."
"Jalannya lumayan sepi dan gelap kalau lewat sana," Putu Yasa berbeda pendapat.
Keempat anak itu telah sampai di gerbang rumah. Pintu rumah itu berwujud candi kurung yang terbuat dari bebatuan gelap. Lebarnya cukup bagi sebuah mobil menyusup masuk. Tingginya nyaris menandingi cucuran atap rumah. Pintunya logam dicat putih. Darma membuka pintu besi, menariknya ke arah dalam, memberikan jalan keluar bagi dua sepeda motor yang diparkir di halaman depan rumah. Pintu itu berderik rendah, mengeluarkan suara getaran engkol logam yang kesat karena sendi-sendinya lama tak terlumasi minyak.
Komang Adi mengangkat sebelah kakinya, menunggangi motornya, dan memasukkan kunci ke sakelar motor matic merah berkilat itu. Tingkahnya diikuti Putu Yasa yang memarkir motornya di samping milik kawannya.
"Tolonglah. Kita lewat jalan utama di Abiantemu saja. Lebih terang," lanjut Putu Yasa memberikan alternatif argumentasi seraya memasang helmnya di kepala.
"Ah, itu kejauhan!" protes Komang Adi sambil menyepak standar kaki motornya dan mendorong motor itu ke belakang. "Aku harus putar balik untuk sampai ke rumah."
"Apa sih, yang kamu takutkan, Tu?" desis Made. "Toh juga setiap hari kamu lewat pertigaan Lawang kalau ke sekolah."
Putu Yasa menggumam sejenak. Keningnya mengkerut. "Kalau jalan pagi-pagi ya tidak apa-apa," terangnya. "Masalahnya ini malam hari, dan kita bakal lewat Kepuh Agung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionDelapan besar novel pilihan International Novel Writing Contest yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2017. Novel ini telah beredar di toko-toko buku di seluruh Indonesia dan juga dapat dibeli online (denga...