Jennifer POV.
Aku mengetuk-ngetukkan jariku di meja. Sesekali kulihat arloji yang melingkari pergelangan tanganku.
Entah sudah keberapa kalinya aku harus seperti ini. Menunggu dan menunggu.
Bukan salah Will karena aku sendiri yang bersikeras menunggu sampai laki-laki itu datang.Kubuka WhatsApp-ku lagi dan lagi, berharap pesanku dibaca dan dibalas.
Mataku membola ketika melihat tanda dua centang biru yang mengartikan bahwa pesanku telah di baca. Tanpa sadar aku tersenyum-senyum sendiri, mengabaikan tatapan heran pengunjung cafe yang lain.
Lalu setelah sepuluh menit berlalu, aku kembali mendesah kecewa.Katakanlah aku gila, hanya karena Will pernah menyelamatkanku dari sebuah kecelakaan, aku bertekad untuk menjadikan laki-laki itu nomor satu di hati dan hidupku.
Bahkan seringkali aku mencoba menggoda dan merayunya, tapi tetap saja ia datar. Apa aku kurang menggoda?Wajahku memanas mengingat kelakuanku menggoda Will. Aku pernah berpura-pura sakit dan memaksanya ke apartemen. Ia datang sementara aku sudah bersiap menyambutnya dengan wajah kesakitan di tempat tidur mengenakan pakaian tidur yang tipis berbelahan dada rendah.
Aku juga pernah pura-pura ketakutan dan memeluknya ketika kupaksa ia menonton film horor di apartemenku.
Paling parah ketika aku memprotes karena ia tidak pernah menciumku sepanjang enam bulan kami pacaran, memaksa menciumnya dan berakhir dengan semburan gelak tawa Airin yang tiba-tiba muncul di apartemen. Astaga!
Kututup wajahku yang kuyakin memerah dengan kedua telapak tanganku karena mengingat hal-hal memalukan yang pernah kulakukan."Kau sedang apa?" suara datar itu membuat jantungku berderap cepat.
Aku mendongak mendapati wajah tampan tanpa senyum yang selalu bisa membuatku jantungan.
"Kau! Lama sekali!" kukerucutkan bibirku kesal.
"Ada apa? Kau tau aku sibuk," Will duduk di depanku, meraih buku menu yang sejak tadi menjadi temanku menunggunya.
"Ya ya aku tau. Setidaknya perhatikan pola makanmu! Kau selalu lupa makan siang!" aku mengomelinya.
"Kau belum pesan?" tanyanya melihat segelas air mineral di hadapanku.
Aku menggeleng.
"Aku tidak akan makan siang sendiri. Pacarku belum makan!" sahutku santai.
Ia menyodorkan buku menu padaku dan memesan pada waitress yang sigap menghampiri dengan wajah lega setelah menunggu pesananku hampir satu jam lamanya.
"Aku pesan sama denganmu," kudorong buku yang disodorkan Will kembali padanya.
"Seharusnya kau tidak perlu menungguku. Kau bisa makan siang sendiri. Atau ajak sahabat-sahabatmu," ujar Will melipat tangannya di atas meja setelah waitress berlalu membawa catatan pesanan kami.
"Aku mau makan siang dengan pacarku. Lagipula, Airin dan Samantha pasti sudah makan siang dengan suami mereka sendiri," kukerucutkan bibirku.
"Besok aku harus berangkat ke Jepang," ujar Will datar.
"Apa? Kapan? Kenapa tidak bilang-bilang?" tanyaku terkejut.
"Aku sibuk, tidak sempat memberitahu," katanya menegakkan punggungnya mengalihkan pandangannya ke waitress yang mengantarkan pesanan.
"Tidak sempat? Huh! Alasan!" cibirku melengos kesal.
Will menghela nafas, menunggu waitress itu berlalu dan memandangku.
"Marah?" tanyanya tanpa ekspresi.
Bagaimana aku bisa marah padanya?
"Tidak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Senior (Sudah Terbit)
RomanceWARNING 21++ LAPAK DEWASA JUST FOR ADULT. NOT FOR CHILDS ANAK KECIL DILARANG MENDEKAT! MENDING BIKIN PR DAN BELAJAR DULU BIAR SEKOLAHNYA PINTER. SOAL GINIAN MAH PASTI NANTI ADA WAKTUNYA SENDIRI. BIKIN SIM DULU... NONTON TOM AND JERRY KAN LEBIH BAI...