Satu

56 6 0
                                        

"Adina Aprillia Putri! Lo bisa cepetan dikit nggak sih? Nggak kasian sama kaki gue apa, yang lo biarin berdiri hampir setengah jam disini? Pegel tau kaki gue," teriak Vino yang sedari tadi berdiri di depan rumah dan mengetuk pintu rumah Adina namun tak digubris oleh yang di dalam.

Mendengar tak adanya tanggapan untuk ke sekian kalinya, Vino kembali berteriak, "Apa jangan-jangan lo lupa ya? Hari ini sekolah, woy. Bangun. Kebo lo!"

Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Vino masih bertahan di posisi yang sama untuk menunggu respon dari semua teriakan yang telah ia hasilkan. Rasanya pita suara Vino akan segera putus jika ia terus berteriak memanggil Adina.

"Din, ini gue nggak bercanda ya, semenit gue tunggu lo, kalo lo masih belom keluar rumah, gue tinggal!" ujar Vino dengan nada mengancam.

Tak perlu waktu lama agar pintu rumah Adina terbuka setelah ancaman Vino. "Iya, iya, selow aja kali ah," tukas Adina dengan sepotong roti utuh yang tergigit di mulutnya.

"Dasar ya, ternyata bukan otak lo doang yang lemot, tapi pergerakan lo juga lemot. Cepet woy, bisa-bisa ntar kita telat ke sekolah. Lo mau dihukum sama Pak Sumarto buat ngebersihin toilet sekolah gara-gara telat? Sori aja sih, ya, gue sih ga mau. Kelamaan liburan sih lo, bangun siang terus, sampe-sampe lupa kalo hari ini sekolah. Gue sih nggak peduli kalo lo telat, tapi masalahnya gue udah dikasih amanah sama nyokap lo buat berangkat dan pulang sekolah bareng sama makhluk kayak lo. Lo bisa nggak sih se--"

Belum sempat Vino menyelesaikan ucapannya, jari telunjuk Adina sudah terdampar tepat di bibir Vino, "Ceramah mulu lo. Pengen jadi penerus Mamah Dedeh,ya lo?"

Vino tak menggubris ucapan Adina.

"Yee, ngambek nih orang. Udah ah, yuk cabut, gue juga nggak mau ngebersihin toilet sekolah yang baunya lebih-lebih dari bau ketek lo," ucap Adina seraya berjalan menuju mobil Vino, diikuti oleh Vino di belakang.

***

Ternyata, pagi itu, jalanan tidak terlalu ramai kendaraan, sehingga mereka tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Melihat parkiran sekolah yang masih kosong, Vino memilih untuk memarkirkan mobilnya di ujung kanan parkiran, area parkiran teduh yang selalu menjadi incaran para siswa untuk memarkirkan kendaraan pribadinya. Lalu, mereka pun keluar dari mobil dan berjalan bersama menuju kelas.

"Din, cabut kuy, kelas mulai masih sejam lagi," tukas Vino sambil melirik arloji yang terpasang di tangan kirinya.

"Kuy, ke taman belakang aja, gue kangen suasana disana," jawab Adina sambil mendahului Vino dan menepuk pelan bahu Vino.

Mereka melewati koridor-koridor kelas yang belum terlalu ramai. Tak perlu waktu lama untuk tiba di taman belakang sekolah. Setibanya Adina dan Vino disana, mereka segera duduk bersebelahan di kursi taman. Vino mengambil ponsel dari saku celananya dan tak perlu waktu lama, jarinya sudah asyik menari di layar ponselnya. Sedangkan Adina yang sedari tadi melamun, melihat apa yang ada dihadapannya dengan tatapan kosong.

Sadar akan situasi hening yang terjadi, Vino mematikan ponselnya, meletakkannya kembali ke saku celananya, dan menatap Adina.

"Mikirin apa, lo?" tanya Vino pelan.

Karena pikiran Adina yang entah kemana, Adina tak mendengar apa yang baru dikatakan Vino. Namun, sadar atas adanya sepasang mata yang menatapnya, refleks, Adina menoleh dan membalas tatapan Vino dengan tatapan bingung, "Ngapain lo liatin gue segitunya?"

"Ya, nunggu jawaban elo lah," jawab Vino ketus.

Adina menaikan sebelah alisnya, "Hah? Jawaban apa? Perasaan lo tadi nggak nanya apa-apa deh ke gue."

Take My Pain AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang