Empat

31 7 2
                                        


Annyeong guyss~ First of all, gue mau minta maaf karena cerita ini slow respon banget updatenya. Dan untuk part ini juga gue ngeditnya kilat banget, so maap-maap aja ye kalau ada typo. Udeh sih itu aja kayanyaa, happy reading guys! Don't forget vomments-nya yaa:))

Digoresnya tinta hitam pada buku bersampul hitam polos itu. Jemari tangannya seakan menari bebas pada buku tersebut. Di bagian sampul depan buku itu, terlampir sebuah tulisan, "Things I Wanted to Say But Never Did". Ya, semua teriakan amarah dan kesedihan dalam hati Adina yang tak pernah terucap, bersarang dalam benda itu. Adina memang terbiasa mencurahkan segala emosinya dalam tulisan. Menurut Adina, dengan menulis, ia bisa bebas menuangkan segala pikiran dan perasaannya tanpa mendapatkan penilaian buruk terhadapnya.

6th of November, 2017

I want to scream, I want to burst in tears, I want to get drunk and kill myself... but all I can do is stare at the wall in silence.

Kepada siapa aku harus mengadu? Aku hanya ingin merasakan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Aku ingin diperlakukan adil sama seperti mereka memperlakukan Ashira. Hm, aku tau itu mustahil terjadi. Karena memang sepertinya aku tak pantas untuk mendapatkannya. Aku tahu aku hanya merugikan dan menyusahkan keluargaku sendiri. Andai saja bila usiaku sedikit lebih besar, aku akan pergi dari rumah yang tidak seperti rumah itu dan tinggal sendiri. Aku lelah, lelah untuk menghadapi semuanya. Terkadang aku berpikir bahwa mungkin mereka hanya terpaksa membiayai hidupku karena aku anak kandungnya.

Mengapa harus aku yang dianggap bersalah? Mengapa fitnah dan tuduhan itu harus jatuh terhadapku?

Aku tak tahu apa yang sebenarnya aku rasa. Di satu sisi, aku membenci mereka; Ashira yang telah memfitnahku, orang tuaku yang tidak menganggapku ada. Aku pun sudah tak sanggup lagi menerima kenyataan yang semakin hari semakin pahit. Namun, bagaimana pun juga mereka ialah keluarga kandungku. Tak seharusnya aku membenci mereka. Biarkan mereka saja yang membenciku, tapi aku tetap menyayangi mereka, walau mereka takkan pernah menghargai rasa sayangku. Tapi, aku yakin, di lubuk hati mereka, pasti terdapat rasa sayang terhadapku, meski hanya sedikit.

Ya, bagaimana pun juga aku harus bertahan, setidaknya sampai aku berhasil membuktikan bahwa aku tidak seperti Adina fitnahan Ashira. Aku pasti bisa. Cepat atau lambat, mereka pasti akan menyadari bahwa aku tidak bersalah dalam kejadian itu. Semangat untukku! Aku pasti bisa membuktikannya! Wish me luck! :))

Setelah Adina selesai menyelesaikkan tulisannya, ia segera menutup bukunya dan menghela nafas kasar. "Kira-kira sampai kapan ya gue tahan hidup sebagai diri gue, Adina.." batinnya pelan. Dilihatnya arloji putih yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Waktu telah menunjukkan pukul 16.30, sedangkan yang sejak tadi dinantinya belum terlihat tanda-tanda keberadaannya. Ditolehkan lehernya ke kiri dan ke kanan berulang kali, namun sosok yang dicarinya belum dapat ia ditemukan. Baru saja ia ingin mengecek ponselnya untuk melihat ada atau tidaknya notif dari orang yang ia tunggu, namun yang ada, Adina malah terlonjak kaget sampai-sampai ponsel yang ia pegang terjatuh.

"DORRR... SENDIRIAN AJA NENG?" ucap cowok sebaya Adina setengah berteriak sembari menepuk keras bahu kiri Adina, sehingga berhasil membuat ponsel Adina mendarat mulus di hamparan rumput nan hijau itu.

"Heh.. Dasar lo, ya, Dav. Udah jam berapa coba sekarang? Lo tuh udah telat 20 menit, dateng-dateng malah ngagetin gue. Ditambah lagi, lo udah bikin hape gue jatoh. Mau lo apa sih, Dav? Salah gue apa? Kurang baik apa coba gue jadi temen lo? Rese lo tau nggak!" omel Adina sambil tangannya merogoh ponselnya yang jatuh.

"Temen. Iya, mungkin memang itu yang terbaik untuk kita, Din. It's okay kalau lo nganggep gue cuma sekedar temen. Tapi, sampai kapan pun, gue janji untuk selalu ngejagain lo lebih dari siapapun," batin David dalam hatinya.

"Marah-marah mulu, bu. Ntar ibu cepet tua loh, kalo ibu cepet tua, keriput loh mukanya, makin jelek dah tuh muka," ucap cowok yang bernama David itu dengan santai dan tak henti-hentinya tertawa akan ekspresi wajah Adina yang menggemaskan itu.

"Woy, gue serius anjir! Lo tuh, ya, gue tuh lagi marah dan lo malah cengengesan. Pernah ngerasain jitakan maut Adina nggak sih? Eh, sering deng. Kalau gitu, apa lo ketagihan sama cubitan maut Adina?" tantang Adina dengan pelototan mautnya kepada Davin serta melipat kedua tangannya di dada. Menurut Adina, setiap berbicara dengan Davin, rasanya selalu ingin menghilangkannya dari muka bumi.

"Eh eh eh, ampun bos, ampun bos, ampuunn!" ucap Davin sembari memejamkan matanya dan menggunakan kedua tangannya untuk melindungi kepalanya.

"AH ELAH, gue juga bercanda kali," gurau Adina dengan memberikan sebuah sentilan pelan di kepala David.

"Yakali lo serius mau ngejitak kepala gue untuk kesekian kalinya, bisa-bisa ntar otak gue berhenti bekerja. Emang lo mau tanggung jawab, hah?" tanya David sambil menaikkan kedua alisnya.

"Oh gituu.. Baru tau otak bisa kerja. Ya kalau seandainya otak lo berhenti bekerja, artinya otak lo udah pensiun dong, wajar sih, orang yang punya otaknya juga udah tua sih," tukas Adina dengan juluran lidahnya.

"Udah ah, emang ya, kalau ngomong sama lo, seabad juga nggak bakalan beres," ucap David yang memutuskan untuk menghentikan pertengkaran itu.

Adina mengerucutkan bibirnya.

"Iya iya, okay, kita stop pertengkaran kita untuk saat ini. So, ngapain lo ngajak gue ketemu disini?" tanya Adina to the point.

"Hmmm.. sebenernya, gue cuma pengen mastiin lo baik-baik aja, Din."

"Ehhh.. malah bengong, liatin apa sih lo?" tanya Adina sekenanya.

"Ehh.. ehmm.. i..itu, tadi gue liat kelinci putih itu terbang. Eh, kok terbang sih? Ehmm, ma.. maksud gue, kelinci itu loncat-loncat, lucu deh," jawab David sambil menunjuk kelinci putih yang berada di belakang Adina.

Adina menoleh dan berkata, "Dari jaman nenek moyang dulu, kelinci itu emang loncat pea, yakali kelinci jalan,"

David menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum salah tingkah.

"Ehmm.. jadi gue.. gue kesini mau nanya kabar lo, lo baik-baik aja, kan?" tanya David setengah gagap.

"What? Lo punya mata kan, Dav? Lo ga bisa liat gue disini? Hah? Lo, liat gue kan, Dav? Ya gue baik baik aja lah, lo kira gue abis kecelakaan atau abis kena kasus pencurian?" tanya Adinda.

"Bukan secara fisik maksud gue." ucap David.

"Hmm... yap, gue baik baik aja kok," ucap Adina dengan senyum palsunya.

"Gue tau lo boong sama gue" jawab David sembari menaikkan sebelah alisnya.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Take My Pain AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang