Chapter 6

51 3 36
                                    

[Backsound song: Yinwei Ai (Because of Love) by Andy Lau].

Bau harum sup merah dari arah ruang makan membangunkan Stella pagi itu. Naga-naga di dalam perutnya berbunyi, meminta untuk segera diberi makan.

Stella membuka kedua matanya, melirik jam dinding di salah satu sisi kamar. Jam tujuh pagi. Sinar matahari menerobos jendela kamarnya dengan malu-malu, membuat Stella harus menyipitkan mata karena silau.

Hari ini tepat seminggu sejak Ferry berpamitan padanya untuk kembali ke Inggris. Stella menduga Ferry saat ini pasti sudah sibuk mempersiapkan diri untuk pekerjaan baru. Di sisi lain, ia masih tetap di sini hingga visa pelajarnya habis masa berlakunya. Ia tak mungkin kembali ke kampus karena semua orang di sana pasti sudah mengetahui skandal antara dirinya dan Chen Hao. Lalu setelah itu, ke mana ia harus pergi? Pikiran Stella diliputi kebimbangan. Ia seolah menemui jalan buntu.

Ia tidak mungkin tinggal di Taichung. Ia harus kembali ke Indonesia, tapi ia juga tidak bisa tinggal di Singkawang. Kota seribu kuil ini merupakan kota kecil, cepat atau lambat seluruh masyarakat akan mengetahui aibnya. Bukan tidak mungkin masyarakat akan mengucilkan dan meremehkannya. Kalau sudah begitu, akan sulit memulihkan nama baiknya lagi.

Tinggal di rumah Om Suwito? Selama ini ia sudah merepotkan adik almarhumah ibunya itu, ia tak mungkin kembali ke sana. Kalaupun ia kembali ke rumah Om Suwito, apa yang harus ia kerjakan di sana?

Stella segera bangun, mandi dan mencuci wajahnya yang kusut, kemudian bergabung dengan Gunawan dan Rico di ruang makan.

"Selamat pagi," sahut Gunawan pada Stella, sambil menyesap kopi hitamnya. "Besok Papa dan Rico mau pulang, kamu baik-baik di sini. Ngomong-ngomong, Papa lihat visamu hampir habis, jadi kamu harus pulang, kalau kamu tidak mau dideportasi."

"Pulang?" Kedua alis Stella bertaut, bingung dengan perkataan ayahnya. "Maksud Papa, aku akan pulang ke Singkawang?"

"Tentu saja tidak!" ujar Gunawan, dengan suara keras. "Kamu mau kamu jadi bahan gunjingan masyarakat kalau kamu pulang ke Singkawang? Tentu saja kamu akan kembali ke tempat Om Suwito! Kemarin aku sudah bicara padanya dan ia sangat senang kamu kembali tinggal bersamanya dan Tante Lana."

Ya, ayahnya memang benar. Mana mungkin ia bisa kembali ke Singkawang.

"Oh, ya. Apa kamu punya teman bule?" tanya Gunawan, sambil merogoh tas kecil di hadapannya.

"Hah?" Stella terbengong. "Bule? Kurasa nggak ada. Kenapa?"

"Ada yang Papa lupa. Beberapa hari lalu Papa menerima selembar kartu pos yang ditujukan buat kamu. Pengirimnya bule, pakai bahasa Inggris," kata Gunawan, seraya menyerahkan kartu pos yang bergambar sepasang muda-mudi saling berhadapan dan bergandengan tangan dengan latar belakang bulan sabit dan jembatan burung murai di bawah kaki mereka.

Jantung Stella nyaris berhenti berdetak ketika melihat nama pengirimnya. Siapa lagi kalau bukan Alexander Christensen!

Tentu saja nama itu sangat akrab bagi Stella. Selain itu, Stella masih mengenali tulisan tangan super rapi pada kartu pos itu, yang tak lain adalah tulisan tangan Ferry sendiri!

"Kamu kenal dia?" tanya Gunawan, membuyarkan lamunan Stella.

"Ini ... kartu pos ini Ferry yang mengirim. Alexander Christensen adalah nama penanya."

"Di situ tertulis kalau kamu diminta menghubungi dia," sahut Gunawan, menunjuk nomor ponsel yang tertera di kartu pos itu.

Stella mengembuskan napas panjang. "Ya, dia memberi batas waktu lima hari sebelum dia kembali ke Inggris dan ini sudah seminggu."

"Dia masih menginginkan kamu kembali. Kalau belum lima hari, apakah kamu akan menghubungi dia?" tanya Gunawan, tegas.

Stella menggeleng. "Tidak. Ferry masa laluku. Aku sudah bilang aku nggak akan kembali. Janji yang kami buat dulu hanya lelucon. Kami masih sangat labil waktu itu."

Gunawan mendesah pelan, menyesali sikap putrinya. "Papa heran dengan sikapmu. Dari dulu kamu selalu begitu. Mengumbar janji pada orang lain. Mulai sekarang, kamu harus berhati-hati kalau mau bicara, jangan memberikan harapan palsu kalau tidak ingin terkena getahnya."

Stella menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya, tetapi mulutnya membisu.

***

Malam itu Stella sulit tidur. Badannya meriang, tulang di sekujur tubuhnya seakan rontok sejak sore tadi. Kepalanya sakit seakan-akan ada sebuah palu gada menghantam otaknya. Ia sudah meminum obat dan vitamin untuk daya tahan tubuh setelah makan malam tadi, tetapi entah mengapa tidak ada reaksi.

Stella meraih selimut di ujung tempat tidurnya. Begitu tersibak, ia melihat novel Snow Drop di bawah selimutnya.

Alis Stella bertaut. Seingatnya, ia menyimpan novel itu di laci, mengapa sekarang bisa ada di bawah selimutnya? Siapa yang meletakkannya?

Ah, mungkin lebih baik kubaca saja novel ini, siapa tahu aku bisa tidur, batin Stella, kemudian mengambil sebuah bantal besar sebagai sandaran punggungnya.

Ah, sudah lama ia tidak pernah membaca karangan Ferry sejak mereka berpisah delapan tahun lalu. Kerinduan yang dalam merebak di dalam hatinya. Ada sesuatu yang hilang di sana ... tetapi Stella sendiri tak tahu apa itu. Ia membuka halaman Thanks to yang berisi ucapan terima kasih Ferry, ketika ia menemukan sebaris tulisan yang ditujukan untuk dirinya.

"... untuk Stella Puspita, satu-satunya wanita yang sangat kukasihi, di mana pun kamu berada aku yakin suatu saat kamu pasti akan membaca novel ini. Novel yang sederhana ini aku tulis untukmu ..."

Air mata Stella membasahi pelupuk matanya, dan jatuh membasahi pipinya. Ia menyesali semuanya. Namun terlambat. Ferry sudah kembali ke Inggris dan pemuda itu pasti sudah tidak mau berhubungan lagi dengannya.

Andai waktu bisa diputar...

Ia mencari kartu pos yang dikirimkan Ferry dan mencoba menghubungi nomor ponsel yang tertera di sana. Terdengar nada masuk beberapa kali, tetapi tidak diangkat. Stella mencoba sekali lagi, tetapi kali ini sambungan teleponnya terputus. Sepertinya Ferry sengaja menolak panggilan teleponnya.

Stella mengembuskan napas panjang. Ia meletakkan ponselnya kembali. Ia menyerah. Semuanya sudah terlambat.

***

Ferry baru saja tiba di apartemennya sore itu ketika menyadari ponsel di dalam saku celananya bergetar. Seseorang meneleponnya. Ketika ia meraih ponselnya, sebuah tulisan 'unknown number' muncul di layar ponselnya.

Sejenak Ferry ragu untuk mengangkatnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, siapa yang meneleponnya. Biasanya penelepon dengan identitas 'unknown number' adalah marketing kartu kredit atau seseorang yang tak dikenalnya mencoba menghubungi untuk menipunya. Ferry akhirnya memutuskan untuk mendiamkan telepon tersebut.

Namun ponselnya bergetar lagi dan masih dari penelepon yang sama. Merasa terganggu, akhirnya Ferry menekan tombol merah di ponselnya.

Ia masuk ke unitnya dan meletakkan keranjang belanjaan yang dibawanya di atas meja. Ferry merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Tubuhnya sangat lelah.

Ia akan menjalani babak baru bulan depan. Ia akan mulai bekerja, memulai kehidupan yang baru, teman-teman baru, dan menyenangkan kedua orangtuanya.

Stella?

Ferry sudah antipati, ia tak mau mendengar nama gadis itu lagi, atau berhubungan dengannya.

Hatinya kini telah membeku. Kali ini, ia tidak ingin berurusan dengan cinta.

***

Yesterday and TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang