6

30 6 0
                                    


"Lavy... Bisa ikut dengan ku besok? Ibu merindukan mu... "

Seharus nya itu hanyalah pertanyaan simpel. Mungkin bisa di jawab 'Tentu' atau 'Tidak bisa' . Tapi nyata nya aku sampai pusing memikirkan nya. Andreas jelas bukan bertanya. Tapi memerintah.
Aku mengambil ponsel ku, melihat jam yang ternyata sudah menunjukan pukul 11.30 siang. Hari libur ku terbuang setengah hari,hanya untuk memikirkan alasan tepat untuk menolak.

"Ah! Sialan!! "

Aku beranjak dari kasur, membuka lemari pakaian, memilih pakaian seperti apa yang akan ku pakai nanti.
Aku harus terlihat sopan.
Ibu bukan tipe ibu-ibu pengatur atau cerewet akan sesuatu hal, sebenarnya. Tapi.. Tetap saja aku ingin terlihat rapi.

"Seperti nya isi lemari ku, harus di daur ulang"
Aku mengambil satu stel pakaian yang aku rasa cocok, setelah itu aku memutuskan untuk mandi.
.
.
.
.

Dan sekarang di sinilah aku mengemudikan mobil sport putih ku di jalanan yang cukup lenggang ini. Sesekali aku menghela nafas, dan bergumam tidak jelas.
Seperti nya aku harus memacu adrenalin ku sedikit untuk menghentikan umpatan ini. Mulut ku terlalu banyak berdosa hari ini.

Sepuluh menit kemudian setelah balapan individu, aku tiba di tempat tujuan ku. Setelah memarkirkan mobil, aku mulai berjalan ke dalam restoran keluarga bintang lima, yang sial nya tempat ini terlalu ramai bagi ku.

Aku terus berjalan ke arah meja yang sudah pasti di tempati oleh Andreas dan mungkin ibu. Karena aku hafal sekali jika mereka datang, pegawai restoran ini akan selalu memastikan meja yang selalu di pakai kosong, itu dulu..
Entah sekarang karena aku sudah jarang sekali mengikuti acara-acara membosan kan seperti ini.
Dan memang benar ketika aku sampai, di meja itu sudah ada Andreas yang tersenyum juga seorang wanita yang begitu aku hormati, dengan senyum anggun nya,  dia berdiri dan langsung memberikan ku pelukan hangat.

Ibu ku.

"Oh.. Lavy.. Anaku.. Ibu merindukan mu.. Sangat.."

"Aku juga ibu.."
Aku membalas pelukan ibu kaku, ini sudah begitu lama dari terakhir kali nya dia memeluk ku.

"Hey... Ayo-ayo, kasihan para 'fans' kita di sana jika harus terus menerus memotret moment 'mari saling memeluk' kalian , mereka pasti menunggu moment lain nya juga.. Ahahahahahahaaa~"

Aku melepas pelukan ibu pelan, menuntun nya untuk kembali duduk, lalu menatap Andreas tajam. Sedang dia hanya mengendigkan dagu nya ke satu arah sambil mengangkat gelas piala nya lalu meneguk isi nya.
Aku segera melihat ke arah yang di maksud nya, dan lagi... aku harus menghela nafas lelah, ketika melihat dengan jelas dua orang yang sedang mengarah kan lensa kamera nya ke arah kami.

"Sudah... Anggap saja kita sedang memberi mereka sedekah.." ucap ibu tenang dan di sahuti Andreas dengan tawa.

"Kenapa harus di tempat umum seperti ini?" keluh ku. Ayolah ini nama nya bukan 'diam-diam' lagi kalau nyata nya banyak orang yang melihat, meski cuma tamu VIV.
Aku hanya ingin hak privasi ku.

"Ibu merasa bosan di rumah terus. Lagian kau saja yang telalu formal." jawab Andreas santai selagi mata nya tidak henti-henti nya menilai penampilan ku.

Aku mendengus kasar. Memang benar apa yang di katakan nya. Aku terlalu formal. Di banding dengan Andreas yang hanya mengenakan kaos polo hitam dengan kemeja kotak biru sebagai luaran nya. Ah.. Dia juga membiarkan rambut coklat gelap nya sedikit acak-acakan, tidak tertata rapi seperti biasa nya, tidak lupa kaca mata bening GUCCI dia pakaikan untuk kesan cassual nya. Heh.. Berlagak sok jadi anak remaja yang baru memasuki masa puber, kah?? Tapi dengan baby face nya, Andreas benar- benar terlihat seperti remaja. Kadang aku iri, dia mewarisi gen ibu hampir semua nya.
Aku juga memperhatikan penampilan ibu yang begitu anggun tubuh ramping nya di balut dress salem selutut dengan rambut yang di gulung santai. Dia masih terlihat awet muda di usia nya yang hampir menginjak 40 tahunan. Aku benar-benar di buat kagum oleh nya, sedari dulu.
.
.
.

 (the last) MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang