Pagi yang sial. Karena sungguh mata ku masih berat, mengantuk. Aku hampir -harus-terjaga semalaman, karena sesuai dugaan, tengah malam tadi Andreas demam tinggi. Aku memanggil teman yang merangkap dokter pribadi Andreas saat itu juga. Setelah memeriksa dan menyuntikan obat, Johan -nama dokter muda itu- mengintrograsi ku sebentar, dan mengomel karena aku memaksa nya untuk datang, padahal sudah lewat dari jam tengah malam, dan dia akhirnya memutuskan untuk menginap. Kini dia tergeletak mengenaskan di atas karpet di ruang tamu dengan selimut membungkus dirinya layak nya kepompong. Semalam dia juga mengeluhkan apartemen kami yang minimalis hanya terdapat tiga kamar. Dua kamar yang di pakai oleh Andreas dan aku, lalu satu lagi yang di sulap Andreas, sebagai 'gudang'.
Aku berjalan menuju kamar Andreas untuk memeriksanya. Membuka pintu, seharus nya aku melihat Andreas yang masih tertidur. Tapi nyata nya yang ku lihat adalah sosok Andreas dengan plaster penurun demam merekat di dahi nya, tengah terduduk menyandar di kasur menjadikan susunan bantal sebagai sandaran, lengkap dengan sebuah laptop menyala di pangkuan nya. Aku melangkah semakin masuk kedalam kamar.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya ku retoris.
"Lavy?? Oh. Aku sedang bermain" jawab Andreas parau. Wajah nya sangat pucat, dan bersemu merah. Aku rasa dia masih demam.
Aku memungut beberapa kertas yang tercecer di lantai. Mengumpulkan nya menjadi satu, dan meletakan nya di atas kasur. Menarik kursi dan duduk melipat tangan di dada, menghadap Andreas, memperhatikan nya.
".........."
"Andreas. Aku rasa kau bukan lagi anak kecil yang harus diingatkan, untuk beristirahat."
"Dan... Aku juga yakin. Kau tau kalau ada ribuan karyawan yang bergantung padaku. Dan mereka akan mati kalau aku bermalas-malasan dan lengah."
Secara alamiah ke dua alis ku terangkat ke atas, mendengar balasan dari Andreas. Yang bahkan tidak mengalihkan fokus nya dari layar laptop.
"Ya. Dan pada akhir nya kau yang akan di kubur dalam peti mati. Sedang mereka tetap hidup, dan mencari sumber kehidupan yang baru"
Aku beranjak dari duduk ku. Dan tanpa peduli reaksi Andreas, aku keluar dari kamar nya. Menahan diri agar tidak membanting pintu dan menghela nafas untuk meredakan emosi ku. Aku akan selalu merasa menyesal setelah bicara kasar pada Andreas, tapi entah kenapa mulut ku selalu melakukan hal yang sama berulang-ulang kali.
Ketika aku melewati ruang tamu, aku tidak mendapati Johan lagi di sana. Bahkan selimbut dan bantal sudah tertata rapi di atas sofa. Perhatian ku beralih ke arah dapur tanpa sekat ku. Di sana aku melihat Johan dengan rambut pirang nya yang masih acak-acakan, sedang sibuk mengaduk panci dia atas kompor, dan tangan kanan nya sibuk mengetikan sesuatu di smartphone nya.
"Ah, untung lah hari ini jadwal ku kosong, aku istirahat disini saja" gumam nya pelan. Aku menghampiri Johan yang masih sibuk dengan panci nya, dan mendudukan diri di kursi meja makan.
"Untuk apa di sini? Pulang sana ke alam mu. Semalam kau marah-marah padaku karena aku mengganggu tidur mu. Sekarang kau malah mau berleha-leha di sini. Dasar tidak tau malu." sarkas ku.
Johan membalik kan badan nya dan memelototi ku. "Sialan kau, Lavy. Kau memang jahat. Andreas jauh lebih manis daripada mu!" ketus nya.
"Emut saja Andreas sana!!"
Hei! Sialan. Orang-orang selalu saja membandingkan ku dengan Andreas.Johan mematikan kompor, membiarkan panci tidak tertutup begitu saja, dengan uap panas yang mengepul, dari bau nya aku rasa Johan membuat bubur. Setelah itu dia membawa dua cangkir kopi, menarik kursi di depan ku dan duduk di sana.
"Hanya ada kopi di lemari" ucap nya sambil memberikan satu cangkir pada ku.
"Yeah. Kami jatuh miskin. Jadi tolong jangan membuat kami semakin melarat dengan kau yang seenaknya numpang hidup gratisan di sini." aku membalas ucapan Johan sekena nya, dan menyeruput kopi ku. Johan memutar kedua bola mata nya malas, dan mengikuti ku meneguk isi cangkir nya perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
(the last) Memory
General FictionAku selalu bertanya-tanya Saat aku mulai terbiasa .. Mengapa kau pergi. Menaburkan warna hitam di hati ku setelah kau menghias nya dengan sejuta warna. Hanya dalam ingatan. Aku mulai mencari arahan mu.. (the last) MEMORY...