Bab 6 🌻

3.4K 248 3
                                    

    Sayangnya, di minggu yang telah disepakati - walau hanya janji setengah hati dan karena adanya suatu halangan - rencana jalan-jalan dibatalkan. Dikarenakan Papa Dirga mengundang kawan karibnya, yaitu keluarga Hendri Purwanto untuk makan siang bersama.

    Sedari pagi, Ruby turut membantu ibu dan Bik Narti memasak. Sementara, Lira - tentu saja ingin bantu menyiapkan makanan, tapi pada kenyataannya ia hanya duduk termenung di teras belakang. Anehnya, pikirannya saat ini tidak bersama dengannya. Pikirannya melayang tentang janji setengah hatinya. Janji jalan-jalan ke Dufan.

    "Nih," Ruby menyodorkan sepiring brownies kukus ke hadapan Lira. "Baru matang. Masih panas. Fresh dari oven."

    Lira menatap malas pada brownies yang dibawa Ruby.

    "Tenang aja. Brownies nya aman kok." Untuk membuktikannya Ruby menyuap seiris brownies. "Ada yang dipikirin, ya?" ia duduk di depan Lira. Sebagai teman yang baik, ia harus menunjukan rasa perhatiannya. "Kamu bisa curhat ke aku. Kan, kita teman."

    Ruby tahu dan bagaimana menggunakan kartu bernama teman ini. Kartu yang memberikan keuntungan bagi Ruby, tapi tidak bagi Lira.

    "Aku ini pandai menyimpan rahasia."

    "Resek. Sukanya ikut campur."

    Ruby hanya manggut-manggut santai menanggapi wajah jutek dan kata-kata nyelekit Lira. Sudah biasa.

    "Bukannya ikut campur, Li. Aku hanya khawatir. Yach, mungkin aku nggak banyak membantu, tapi dengan kamu berbagi cerita, setidaknya bisa meringankan beban pikiran kamu. Begitu, Lira Syantik."

    "Ngejek?"

    "Nggak."

    Lira beranjak dari duduk.

    "Mau ke mana, Li?"

    "Tidur."

    "Nggak ikut makan siang?"

    "Baru jam berapa?"

    Ruby nyengir. Sekarang ini waktu baru menunjukkan jam sembilan pagi. Masih ada sekitar dua jam-an lagi sebelum keluarga Hendri Purwanto datang.

    Lira melangkah menuju ke kamar.

    Semasuknya di kamar, Lira langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Matanya memejam. Membiarkan pikirannya rehat sejenak.

    Tiba-tiba Lira tersentak kaget oleh bunyi dering ponselnya. Ia menjangkau ponsel, melihat nama si pemanggil pada layar. Ia bergegas bangun, tangannya refleks merapikan rambutnya yang berantakan.

    "Hallo," sapa Lira malas-malasan, tapi tidak dengan ujung bibirnya yang mengembang senyum tipis.

    "Gimana makan siangnya?"

    "Masih pagi."

    "Persiapan lancar?"

    "Ada Bik Narti yang masak."

    "Aku sekarang ada di Kopi Hitam."

Tetaplah di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang