Bab I

123 4 1
                                    

Zahra tahu dia melamun. Berpikir. Apa keputusannya ini tepat. Setengah gila dia memikirkan keputusannya untuk terbang ke Jogja dengan banyaknya masalah di Jakarta. Tapi siapa yang peduli ? Mamanya saja tidak melarangnya sewaktu dia pamit pagi tadi dengan koper besar yang di bawanya. Zahra hanya cukup bilang,

“Ada Dinas di Jogja, 2 bulan, Zahra berangkat, Ma... Pa...”

Lalu dia pergi. Meski pagi itu dia sama sekali belum memegang tiket pesawat, kereta, ataupun bis untuk membawanya jauh dari semua orang yang berusaha membuatnya hancur.

Pak Gery, Manager HRD di kantor yang jadi sasaran pertama sikap Zahra hari itu. Datang lebih siang, Zahra memutuskan untuk langsung pergi ke ruangan pak Gery dan memintanya mengurus semua hal agar dia bisa berangkat ke Jogja, meskipun awalnya ragu, Zahra tetap melakukan itu. Kopernya dia tinggalkan sebentar di dalam Taksi.

Dia meminta supir taksi itu menunggu di depan lobby kantornya, dan kalau saja Pak Gery tidak bisa mengabulkan permintaannya itu, Zahra siap melakukan hal yang lebih gila, benar-benar pergi dari Jakarta tanpa harus ada alasan apapun, dan dia siap menerima semua resikonya, dengan berhenti dari pekerjaannya saat ini.

“Sudah gila kamu, Ra ?. Sekarang ? Mana bisa ?.” hardik keras pak Gery dihadapannya.

Dia tau semuanya terlambat. Kemarin, Rika sudah memberi tahunya kalau sudah ada orang yang bersedia menggantikan zahra yang akan ditugaskan ke Jogja untuk sementara menempati posisi pak Hartono, kepala cabang kantor di Jogjakarta yang mendadak harus terbang ke London.

“Saya tahu pak, ini mendadak sekali buat bapak. Saya juga tahu kalau Bapak juga sudah membeli tiket dan mempersiapkan semuanya untuk Frans yang bersedia menggantikan saya. Tapi apa Bapak lupa kalau saya ini kandidat pertama ?. Saya lebih punya kemampuan untuk mengurus cabang di Jogja di banding dengan Frans. Saya minta tolong bapak usahakan ini, biar saya saja yang berangkat. Saya mau berangkat hari ini juga. Pakai apapun saya akan tetap berangkat, Pak. Saya mohon !.”

Dan dengan rasa letih yang sudah memuncak, Zahra akhirnya tiba di stasiun Tugu, Yogyakarta. Tertatih dia berjalan keluar stasiun dengan menggeret kopernya. Mencari Taksi. Berhasil juga dia membujuk pak Gery untuk membelikannya tiket, dan membatalkan frans yang sudah siap untuk berangkat besok. Tidak masalah dengan kereta, karna hanya itu yang jadi pilihan pak Gery kalau Zahra tetap mau ke Jogja. Senyumnya sedikit mengembang. Setidaknya dia bisa sedikit lebih tenang disini, pikirnya.

“Rejowinangun ya, Pak.” Uzap Zahra saat supir taksi di depannya menanyakan tujuan.

Zahra memang tidak perlu berpikir keras untuk hal itu. Bude dan Pakdenya menetap di kota ini, dan dia tidak perlu bersusah payah memikirkan akan tinggal dimana selama dia Dinas, atau apalah ini namanya.

“Ting nong... Ting nong...”

Bell di depan pagar rumah Zahra tekan berkali-kali, tapi tidak ada juga yang keluar untuk membuka pintu. Cobaan apalagi ini... Raga dan batinnya sudah lelah, dan saat akhirnya dia berpikir bisa segera beristirahat sesampainya dirumah, Bude dan Pakdenya justru tidak ada.

Tubuhnya meluruh ke tanah, bersandar pada dinding disamping pagar tinggi yang hanya sanggup dia pandangi, tanpa bisa dia buka. Kopernya bahkan dia biarkan begitu saja, dia sudah tidak peduli pada apapun, selain ingin mengistirahatkan badannya.

“Ra... Ya ampun, kenapa tidur di sini ?. Ayo bangun !.” Zahra merasa ada yang menarik tangannya, dengan cepat dia berusaha sadar dan berdiri. Danu.

“Akhirnya…” batin Zahra berteriak.

“Kok bisa di sini ? Kenapa nggak masuk ?.” tanyanya bingung. Matanya menyapu sekeliling, melihat penampilan Zahra, koper, dan tas yang sudah berserakan di bawahnya.

Jogja, Cinta, dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang