Bab VII

48 4 5
                                    

"Buka mulut !. Ini buburnya masih banyak."

Suara yang Zahra dengar mendadak tinggi. Mama dan papanya yang baru tiba satu jam yang lalu di dalam kamarnya langsung melampiaskan emosinya.

Mereka marah saat mas Danu menceritakan kronologi kejadian di kantor kemarin.

Setelah selesai menjelaskan, mas Danu pamit pulang. Kasihan, sejak semalam dia menginap di rumah sakit dan tidur di sofa, yang pasti membuat punggungnya sakit.

Dan tersisalah mereka bertiga. Zahra dan kedua orang tuanya yang masih saja mencoba membahasnya, bahkan ketika suster datang membawakan sarapan dan mamanya yang memaksa diri untuk menyuapi Zahra, tetap bicara dengan nada yang menunjukkan kemarahannya.

"Udah lah Mah, Zahra juga udah nggak apa-apa." jelas Zahra, mencoba meyakinkan mama yang duduk di sisi ranjang memegang piring dan menyodorkan satu sendok makanan ke arahnya, dan papa yang sejak tadi diam, duduk di sofa di sudut ruangan.

"Ya nggak bisa gitu. Pokoknya harus di laporkan ke polisi, Ra. Anak mama sampai begini. Kalau kamu kenapa-kenapa, gimana ? Anak Mama kan cuma kamu."

Zahra menghembuskan nafas lelah. Ya sudahlah, mau berdebat seperti apapun mamanya yang masih emosi pasti akan tetap mempertahankan pendapatnya.

Memang selalu seperti ini. Entah bisa di sebut galak atau tegas. Terkadang apapun yang keluar dari mulut Mamanya tidak bisa di bantah. Lain halnya dengan Papanya yang lebih sering diam. Tidak banyak bicara. Tapi Zahra tetap merasa Papanya adalah Ayah terbaik yang pernah dia kenal.

Dia merasa beruntung bisa menjadi anak dari seorang pria seperti papa, yang selalu memberikan yang terbaik untuk keluarganya.

Zahra yang memang anak tunggal justru lebih sering cerita tentang masalahnya pada Papa. Walaupun tidak semua dia ceritakan. Tapi, jawaban yang Papa keluarkan selalu saja bisa membuat Zahra tenang. Seperti langsung menemukan jalan keluar.

Maka saat Papanya hanya diam seperti ini, bukan papa tidak perduli. Dia pasti sedang memikirkan soal Zahra. Zahra meyakini itu. Tapi Papa tidak akan bicara apapun sampai saatnya tiba.

Dan cuma Papa yang tahu kapan saat itu datang.

"Terus kamu berapa hari disini ?." tanya Mamanya lagi. Setelah pertanyaan sebelumnya tidak dijawab Zahra.

"Nggak tahu. Zahra belum ketemu dokternya. Mas Danu juga nggak ngomong apa-apa.

"Udah ya, Zahra kenyang." jawab Zahra. Sambil menjauhkan mulutnya ketika Mama kembali mengarahkan sendok yang sama.

Lalu Zahra mengambil gelas berisikan air yang di bawakan Mama. Menghabiskan setengah isinya, sampai dia hampir saja tersedak kalau tidak buru-buru menelan air yang sedang bergantian masuk ke tenggorokannya.

"Assalamualaikum..."

"Ahhhhhh... Siniiiii..." teriak Zahra. Tangannya dia rentangkan, mencoba menggapai apa yang dia lihat didepannya.

Shanum, tersenyum melihatnya di dalam gendongan Fattan, yang juga seperti ingin menggapai tangan Zahra dengan tangannya yang di perban cukup tebal untuk melindungi jarum infusnya, juga seorang suster di belakang mereka yang sedang membawakan tiang yang digantungkan botol infus berisi cairan bening yang terhubung pada tangan mungil itu, secara bersamaan mendekat kearah Zahra.

Jogja, Cinta, dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang