Reveal: I

78 5 0
                                    

Hutan teramat sunyi. Angin berembus dan dedaunan di pepohonan bergemerisik seakan-akan bersahutan satu sama lain. Aku menunggu dia datang, dia susah diandalkan namun aku tak pernah percaya kepada orang lain seperti aku percaya padanya.

Aku mulai memanjat pohon terdekat; jujur aku payah dalam ilmu herbologi atau apalah itu, suatu waktu aku memanjat pohon yang sayangnya sudah dihuni oleh ribuan ulat bulu sehingga aku hampir kejang-kejang. Namun aku cukup percaya--tumben--pada instingku bahwa pohon ini tidak bakal memakaniku ulat bulu. Jadi akupun memanjatnya dengan hati-hati, kalau urusan memanjat sayangnya aku jagonya.

Aku memutuskan duduk di dahan terdekat agar tahu jika ia sudah datang. Beberapa waktu yang membosankan kemudian, semilir angin membuatku mengantuk dan aku menyandarkan tubuhku ke batang pohon. Lalu seruan suara dari bawah mengagetkanku. Benar saja: kembaranku. Ya, dialah yang dari tadi ku tunggu.

"Cepat turun. Aku sudah mengumpulkan obat penyembuhnya."

Aku segera turun. Sama sekali tidak penasaran dengan benda yang ada di karungnya. Seperti kataku, aku payah, dia justru sangat pandai ilmu herbologi entah dia sudah dicekoki bacaan dari mana saja. Dia berniat untuk mengajarkanku sekali, tapi aku hanya berkata, "Aku menyayangimu lebih dari apapun. Tapi aku bersumpah jika kau melanjutkan lagi aku akan menenggelamkan kepalaku" karena penjelasannya sama sekali tidak ada yang masuk di otakku.

Kalau kalian ingin tahu, namanya Serena. Ia memiliki mata berwarna cokelat cerah sepertiku. Rambutnya yang panjang dan bergelombang digelung menyerupai bola berwarna hitam kemerahan. Beda dengan rambutku yang merupakan turunan dari ayahku berwarna hitam gelap. Postur tubuhnya tidak lebih tinggi dariku namun dia begitu langsing sedangkan aku tidak gemuk dan tidak langsing. Kesamaan dari kami adalah kami berpipi cekung, dan sama-sama pembuat onar. Namun percayalah walau Serena kembaranku, ia jauh lebih menarik karena wajahnya tidak seperti ingin menerkam orang hidup-hidup.

Hawanya mulai dingin, aku sudah mempersiapkan jaket kulit dari rumah. Omong-omong selama Serena mengumpulkan tumbuhan, aku tidak hanya bersantai dan duduk-duduk. Aku ini saudara yang baik; aku mengumpulkan kayu bakar yang sedang kusandang dibahuku menggunakan karung. Kayu bakar banyak berserakan di hutan sehingga tidak butuh waktu lama bagiku menyelesaikan pekerjaanku.

Jujur ini hanya pekerjaan sampingan kami: membantu ibu. Diluar ini kami bersekolah seperti anak biasa. Di sekolah kami bebas memilih apa yang ingin kita pelajari dengan kata lain kami tidak diwajibkan memilih semua objek pelajaran yang ada. Dan jujur saja ya, tak ada satupun anak yang memilih semua objek pelajaran dalam satu waktu. Itu gila. Objek pelajaran sangat banyak disini. Dari pelajaran memasak dan meramu, panahan dan senjata lain, ilmu mengenai tumbuhan (yang diikuti Serena tentu saja), ilmu mengolah hasil alam tambang, dan lainnya.

Jika kalian bertanya mengapa ada pelajaran mengenai senjata, senjata dapat dipergunakan untuk berbagai hal seperti panah untuk berburu, trisula untuk menangkap ikan, kapak untuk menebang pohon, dan tentu saja itu bukan pelajaran sembarangan karena memang itu dipraktekkan sesuai tujuannya. Yang buatku bertanya, tak ada pedang diantaranya. Mungkin pedang sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan, maksudku kalian takkan menggunakan pedang untuk menebang pohon, kan?

Aku sendiri memilih objek senjata pisau. Pisau dapat digunakan untuk menguliti buruan. Ya aku memang menyedihkan.

Kamipun sampai ke rumah. Rumah kami hanyalah rumah sederhana seperti yang lain. Bertingkat dua dan terbuat dari bata dan kayu, tidak terlalu luas namun dapat ditinggali. Aku mengetuk pintu. Ibu membukanya dan menyambut kami.

"Oh. Baguslah," katanya. "terima kasih"

"Sama-sama," kataku dingin. Aku tidak pernah menghabiskan waktu dirumah seharian, aku biasanya keluar bersama Serena mengeluhkan kehidupan yang membosankan. Biasanya kami ke danau atau ke hutan. Mungkin itu sebabnya aku tidak terlalu dekat dengan ibu. Sungguh aku tidak membencinya aku hanya merasa terintimidasi jika bersamanya.

CreaturesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang