"Terima kasih," kataku.
"Sama-sama," ibu tersenyum. Aku mengernyit.
Bertanya pada Serena adalah sesuatu yang salah. Aku memintanya untuk mengajak Randell dan membantuku memasang tirai hitam yang tadi ku beli di jendela-jendela kamarku (Serena benci membanjat sesuatu meski hanya setinggi dua kaki. Jadi ia tak bisa membantuku) namun Serena justru memarahiku dan berkata bahwa aku bersikap tidak dewasa. Kata-katanya menohokku dalam. Namun ternyata yang ia maksud, aku memerlukan bantuan orang lain namun tidak pernah berusaha untuk meminta bantuan orang terdekat. Jadi aku kalah.
Sekarang aku sedang berlatih di Tempat Pelatihan atau Sekolah atau terserah kalian menyebutnya apa. Selain berburu, aku mengikuti bela diri. Jadi aku sedang meninju dan menusuk pohon saat ini. Aku menggunakan pisau. Dan apa yang ku lakukan ini tidak seperti bela diri, namun gaya bertarung. Apapun itu, tidak jadi soal. Aku menikmatinya.
Pisauku menggores batang pohon yang bekasnya saja bahkan tidak terlihat. Aku memuntir badanku namun menancapkan pisau di tangan kananku ke pohon. Tangan kananku ku posisikan di antara bahu dan rahang kiriku. Aku memakai siku kiriku untuk menohok batang pohon (yang ku anggap perut).
Aku merasakan rambutku yang ku kuncir tinggi rapi, mulai betantakan. Keringat menetes dari dahiku dan kuda-kudaku mulai lemas. Pandanganku masih fokus.
Lalu pisau hitam itu datang entah dari mana.
Tertancap
tepat
di samping
kepalaku.
Mataku buru-buru memandang ke depan. Aku menahan napas.
"Gerakanmu kurang efektif. Bisa saja musuhmu menjegal kakimu. Belun lagi kuda-kudamu payah,"
Amarah menjalari dadaku sampai ke wajahku. Tiba-tiba saja, ia sudah di depanku. Mengambil pisau hitamnya dan pisauku setelah tangan kananku terkulai. Ia memutar pisau itu di kedua tangannya lalu memasukkan keduanya di saku jaketnya.
Ia memandangku dan beringsut maju. Aku yang masih menempel di pohon sudah siap dengan kuda-kudaku kalau ia memaksaku untuk berkelahi saat ini juga.
"Tidakkah menurutmu," bisiknya, "menutupi perantara antara pandanganmu dengan dunia luar dengan kain hitam payah sedikit kurang bijak?"
Dia tahu.
Aku membencinya.
Rambut pirang ikalnya menjuntai sampai bahu. Matanya abu-abu cerah. Jaket hitamnya masih sama.
Aku ingin dia berhenti menguntitku.
Aku bukan tipe orang yang akan berkata, "apa maumu?" ketika penjahat menyergapmu. Aku tidak peduli apa-apa.
"Aku mau menemui saudaraku," geramku.
"Serena Javelyn? Wah dia sedang asyik dengan tanamannya."
Aku mulai maju ke arahnya, berupaya membuat wajah kita sejajar. Sayangnya, ia tinggi menjulang. Ia menunduk.
"Dengar, Pirang," aku menunjuk wajahnya dengan telunjukku, "kalau kau mengganggu adikku, akan ku congkel matamu."
Ia justru terlihat senang karena aku maju menghadapnya. "Adik? Sejak kapan kau menentukan kaulah kakaknya? Kalian kan kembar."
"Aku lahir duluan, kau idiot."
Jika ibuku disini, ia akan membasuh mulutku dengan sabun karena berkata kasar.
Yang membuat aku kaget, dia justru tersenyun mengejek. "Kau harusnya membujuk teman lelakimu itu lebih keras."
Ia berpikir sejenak. Aku berpikir sejenak.
"Aku akan mengunjungimu lain waktu, Zoeanne," katanya lagi.
Terkejut. Itu reaksi pertamaku. Semua orang memanggilku Zoe. Hanya Zoe. Sudah lama aku tidak menggunakan nama lengkapku sesungguhnya. Sejauh apa ia mengenalku?
"Aku benar-benar tidak peduli,"
Reaksinya justru mengernyit. Aku heran.
"Kau seharusnya peduli," lalu ia berbalik pergi membawa pisauku.
Ia menyebut-nyebut tentang Randell. Ya dia berbicara mengenai Randell. Batu seolah menyesaki dadaku. Aku belum bertemu dengan Randell setelah pertengkaran kecil kita.
Aku berlari dan meminta ijin kepada Theo--pelatihku--untuk pulang lebih awal. Aku ke tempat Serena dan mengajaknya pulang, namun ia menolak dan bersikeras untuk pulang sendiri. Aku memaksanya karena khawatir si Pirang bakal mengerecokinya. Ia pun menurut.
Sampai di depan rumah Randell, aku mengetuknya pelan. Randell keluar. Ia mengernyitkan dahi. Serena tersenyum sedikit padanya.
"Randell, dengar," aku mulai memelas, "kau tahu aku hanya bercanda, maksudku, yah, seharusnya kau tidak--kau tidak marah padaku dan--"
"Ya. Aku tahu," Randell tersenyum.
"Jangan mengintrupsiku!"
"Oke," ia masih nyengir.
"Terkutuklah kau," aku hampir terisak. "Kita berdamai."
"Ya."
Lalu ia merogoh sakunya dan menyerahkan secarik kertas padaku. Aku menerimanya.
"Akan ku temui kau besok," lalu ia menutup pintu rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Creatures
FantasyZoeanne Javelyn gadis tiga belas tahun yang hidup di abad yang mengerikan berusaha bertahan dalam kekacaubalauan dunia. Mencoba bertahan hidup bersama kembarannya, Serena, serta ibunya dengan caranya sendiri. Sebelum ramalan aneh terucap dari seseor...