Chapter 4

964 146 30
                                    

Suatu senin pagi, catatan tiga pasien Kyungsoo menghilang, dan dirinya yang disalahkan.

Hari rabu, Kyungsoo dibangunkan pukul empat dini hari di ruang istirahat. Ia meraih gagang telepon sambil terkantuk-kantuk. "Dr. Do,,,,"

Hening. Tak ada suara.

"Halo....halo."

Ia mendengar bunyi napas. Kemudian ada bunyi klik. Sisa malam itu Kyungsoo tidak bisa tidur lagi.

Pagi harinya, ia berkata pada Luhan, "Entahlah aku mulai gila, atau ada orang yang benci padaku." Ia menceritakan pengalamannya kepada Luhan.

"Kadang-kadang ada pasien yang dendam kepada dokternya," ujar Luhan. "Coba kau pikir-pikir siapa yang..."

Kyungsoo mendesah. "Ada puluhan orang."

"Aku yakin ini bukan masalah serius."

Kyungsoo berharap bisa seyakin Luhan.

::

Menjelang akhir musim panas, Kyungsoo menerima sebuah Telegram yang ia tunggu-tunggu. Telegram itu sudah menunggu di apartemen ketika Kyungsoo pulang larut malam. Isinya : "Tiba di Seoul Minggu siang. Tak sabar bertemu. Dengan cinta, Jongin."

Akhirnya mereka akan bersama-sama lagi! Kyungsoo membaca telegram itu berulang-ulang, dan setiap kali ia bertambah gembira. Jongin! Nama itu membangkitkan kenangan menyenangkan.

****

Kyungsoo dan Jongin berteman sejak kecil. Ayah mereka sama-sama termasuk tim medis WHO yang mengunjungi negara-negara ketiga untuk memerangi penyakit-penyakit langkah dan mematikan. Kyungsoo dan ibunya menyertai dr. Do, yang bertugas sebagai ketua tim.

Kyungsoo dan Jongin menikmati masa kecil yang amat menyenangkan. Di India, Kyungsoo belajar bahasa Hindi. Kalau orang tuanya pergi, Kyungsoo minum bhanga, minuman memabukan yang dibuat dengan daun ganja, dan makan chapati dengan ghi.

Dan kemudian mereka berangkat ke Afrika. Menuju petualangan berikutnya!

Kyungsoo dan Jongin mulai terbiasa berenang di sungai yang dihuni buaya dan kuda nil. Binatang peliharaan mereka adalah bayi zebra, cheetah, dan ular. Mereka tinggal di pondok-pondok kayu bundar tanpa jendela yang terbuat dari anyaman kayu yang diolesi lumpur, dengan lantai tanah dan atap ilalang kerucut. Suatu hari aku akan tinggal di rumah sungguhan yang indah, dengan rumput hijau dan pagar kayu yang dicat putih, Kyungsoo bertekad.

Bagi para dokter dan perawat, cara hidup itu berat dan melelahkan. Tapi bagi kedua anak itu, semuanya merupakan petualangan tanpa akhir di negeri singa, jerapah, dan gajah. Mereka belajar di gedung-gedung sekolah bersahaja yang terbuat dari balok-balok kayu, dan kalau itu tidak tersedia, mereka belajar dari guru pribadi.

Kyungsoo anak yang cerdas, otaknya bagaikan spons yang sanggup menyerap apa saja. Jongin memujanya.

"Suatu hari kau akan jadi istriku, Kyungsoo," kata Jongin ketika Kyungsoo berusia dua belas tahun, dan dia sendiri empat belas.

"Aku laki-laki, Jongin."

"Tak masalah, tak ada bedanya bagiku."

"Baiklah, kalau begitu kau akan jadi suamiku, Jongin."

Mereka berdua serius, bertekad menghabiskan sisa hidup mereka bersama-sama.

Kyungsoo dan Jongin tak terpisahkan. Ketika semakin dewasa, mereka pergi ke pasar bersama-sama, ke desa yang jaraknya berkilo-kilometer.

Sejak dini Kyungsoo sudah terbiasa dengan dunia kedokteran. Klinik mereka berupa deretan meja di bawah pohon. Mereka menangani ratusan kasus pasien setiap hari, dan selalu ada antrean panjang menunggu dirawat – penderita lepra, penduduk setempat yang digerogoti TBC, batuk rejan, cacar, disentri. Kyungsoo belajar merawat pasien, memberikan suntikan, dan membagikan obat-obatan, dan ia memikirkan berbagai cara untuk membantu ayahnya.

The Real DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang