SEBUAH RINDU UNTUK BAPAK DALAM SEONGGOK RANSEL

9 2 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku adalah perempuan yang mencintai petualangan. Aku menjelajah hutan, lautan, lembah, bahkan beberapa perjalanan baik terang-terangan maupun diam-diam dari orangtuaku. Aku hampir membuat Ibuku shock dengan kenekatanku. Karena kebanyakan anak gadis lebih menyukai shopping dan pergi ke café. Sedang aku lebih senang dengan hal-hal ekstrim yang menantang. Aku sering melihat Ibu berdoa dengan khusyuk untukku.

Aku besar diantara dua saudara laki-laki yang kini sudah berkeluarga. Dari kecil, mereka sudah mengajariku membuat tenda, menangkap ikan di kolam, bermain sepak bola dan terakhir mengenalkanku pada panjat tebing.

Bagiku, kegiatan ini menarik dan positif. Daripada aku membentuk kelompok gosip, aku lebih memilih bertadabur alam. Menikmati pemandangan yang telah Allah lukiskan.

Bapakku adalah orang yang paling bijak dalam menyikapi kegemaranku ini. Namun belakangan menjadi orang pertama yang menentang hobiku ini. Alasannya adalah aku perempuan. Entah kenapa aku sulit menerima alasan ini.

Padahal dari Bapak juga, aku belajar. Bapak juga menyukai petualangan. Lebih seru malah. Karena bapak adalah pensiunan instruktur penerbang Angkatan Udara. Aku sangat bangga melihat Bapak meliuk-liuk di udara persis seperti lagu 'Pesawat Jet'.

Aku pernah lho, ikut terbang bersama Bapak dengan pesawat latih Bravo dari Jogja ke Solo. Rasanya senang sekali diajak Bapak mengudara. Apalagi Bapak memainkan maneuver berguling-guling di udara. Turun dari pesawat, wajahku putih seperti tak ada darah. Menegangkan tapi aku menyukainya.

"Apa enggak sebaiknya kamu diantar mas Ridho?" Ibu berusaha menyembunyikan rasa was-wasnya.

"Enggak usahlah, Bu, aku cuma mau naik 3 hari saja," ujarku menenangkan.

"3 hari bagi ibu seperti 3 bulan." Ibu mulai mengeluarkan pendapatnya.

"Kamu mau naik kemana, nduk?" Ibu mencoba menyelidiki.

Aku berlalu di hadapan Ibu. "Kemana aku taruh sepatuku?" Tanyaku memelintir suasana.

Aku tahu jika tujuan pendakian diketahui Ibu, Beliau akan berat hati melepaskanku. Dan ini adalah 'musibah' untukku.

Aku kembali lagi ke kamarku, berharap Ibu sudah pergi dari ruanganku. Ibu masih di sana, duduk di tempat tidurku sambil memperlihatkan sepatuku. "Sepertinya kamu sudah membawa sepatumu ." kata Ibu datar.

"Sekarang coba jawab pertanyaan Ibu, kamu mau naik kemana, nduk?" Ibu mengulangi lagi pertanyaannya.

Aku menghela nafas. "Aku mau naik Semeru, Bu," jawabku dengan berat hati. Aku sangat malas berdebat dengan Ibu sebelum waktu keberangkatan. Ini sudah menjadi kebiasaan kami.

"Astagfirullah, itu tinggi sekali, nduk? Apa yo kuat?" Ibu mulai 'pemanasan'.

"Iya, paling tinggi di pulau Jawa. Tapi aku sudah mempersiapkan pendakian sebulan ini, Bu. Lagipula aku enggak pergi sendiri. Aku sama Bagas dan 5 orang teman." Aku mulai dengan pembelaanku.

Late Night StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang