Suasana stasiun Ibu Kota sedang ramai dengan orang - orang yang berlalu lalang. Deretan kereta api secara sili berganti berhenti untuk menjemput atau menurunkan penumpang.
Seorang wanita berkaca mata hitam, dengan tubuh yang tidak begitu tinggi terbalut dengan dress berwarna pastel selutut, menambah kesan sexy pada kulit putihnya. Wanita itu dengan menjinjing tas di pundak kirinya, melangkah santai turun dari kereta yang baru saja berhenti di salah satu rel stasiun.
Ia menghembuskan nafas, dan melirik sekitar loby stasiun untuk mencari sebuah toilet. Kaki jenjangnya terulur untuk melangkah begitu tempat yang menjadi tujuannya telah di temukan oleh indra penglihatannya.
Wanita itu tersentak, begitu langkahnya berbenturan dengan tubuh seseorang yang baru saja melewatinya, hingga kaca mata hitam yang ia genggam terjatuh begitu saja.
"Maaf" suara lirih seorang wanita membuatnya menoleh kesumber suara.
Matanya membulat, ia terkejut begitu tatapan matanya bertemu dengan tatapan seorang gadis yang pernah ia kenal, sedang menyerahkan kaca mata hitam yang tadi terjatuh dilantai.
"Teteh geulis?" suara gadis itu bertanya, dengan senyum yang begitu lebar di bibir tipisnya.
Tiffany berdeham, berusaha menenangkan dirinya dari rasa tidak nyaman yang tiba - tiba menyerang "Yuna?"
"Maaf, aku sedang buru - buru" lanjut Tiffany cepat, menghindari kontak mata dengan gadis didepannya itu.
Ketika kakinya melangkah menjauh, berniat meninggalkan Yuna. Ia memekik, karena langkahnya tertahan oleh tangan kokoh yang sedang mencekram lengan tangannya.
Tiffany menoleh cepat, dan mendapati wajah pria dengan tatapan mata tajamnya. Tatapan itu, yang dulu selalu menyambut bangun tidurnya. Tatapan yang di berikan untuk Tiffany, tak pernah berubah sejak lima tahun lalu.
"Wondy" bisik Tiffany, lebih meyakinkan dirinya sendiri jika saat ini adalah sebuah kenyataan yang harus ia hadapi.
Tubuh Tiffany bergetar, jantungnya berdetak lebih cepat, ia tak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti ini. Ia tak pernah menduga, akan bertemu dengan pria yang menjadi masa lalunya. Pria yang pernah mengukir hatinya dengan kebahagiaan. Walaupun Tiffany tau bahwa seorang wanita bayaran seperti dirinya, tak berhak mengharapkan kebahagiaan sekecil apapun itu.
"Maaf, aku sedang buru - buru" ulang Tiffany lagi, dengan berusaha melepaskan lengannya dari cengraman tangan Wondy.
Namun bukannya terasa longgar, cengraman itu malah semakin kuat. Hingga membuat tulang Tiffany sedikit linu untuk terus memberontak.
Tiffany menggerakkan pupil coklatnya, menghindari tatapan mendelisik yang Wondy berikan. Ia melihat sekeliling setasiun, beberapa orang terlihat penasaran dengan drama yang sedang di perankan oleh ketiga orang ini.
Tunggu!
Bukan tiga orang, tetapi empat. Jangan lupakan bocah perempuan munggil yang sedang tertidur lelap di gendongan Wondy.
Bocah perempuan?
Tiffany baru sadar, jika sedari tadi pria yang sedang mencengkram lengannya sedang membopong seorang anak perempuan dengan tangan satunya lagi.
Jangan - jangan dia.... Tiffany menggeleng. Menjauhkan pikiran - pikiran gila yang tiba - tiba terlintas di dalam otaknya.
"Aku nggak akan membiarkan kamu pergi, Tiffany" kini suara Wondy terdengar penuh penekanan.
"Kamu nggak berhak ngelakuin ini kepadaku. Wondy kumohon, aku sedang buru - buru" brontak Tiffany, yang lagi - lagi tak berhasil melepaskan diri dari genggaman pria itu.
"Kamu tetap disini! Kita harus bicara Tiffany" kukuh Wondy mempertahankan egonya.
Yuna yang semula hanya diam di sisi Tiffany dan Wondy, kini ia berbicara "Cari tempat lain aja Aa', buat bicara. Gak enak di lihat banyak orang"
"Yuna, ngapain kamu masih di sini? Kereta akan segera berangkat" ucap Wondy baru sadar jika adiknya masih berada di sampingnya.
"Tapi aku juga..."
"Kamu gak perlu ikut campur urusan Aa'. Sekarang kamu cepet naik!" perintah Wondy dengan nada tinggi.
Yuna menghentakkan kakinya tak terima. Namun ia tetap menjalankan perintah kakaknya, dengan melangkah pergi menuju kereta yang masih berhenti di tempatnya.
"Wondy lepaskan tanganku! Aku janji nggak bakal kabur" ucap Tiffany putus asa.
Irene menggeliat tak nyaman di pundak sang Ayah, merasa tidurnya semakin terusik. Mata bulat itu mengerjap, dengan tangan yang mengusap pelan agar penglihatannya cepat menyesuaikan terhadap cahaya lingkungan sekitar.
Wondy melepaskan cengkramannya di lengan Tiffany, dan berpindah mengusap sayang pipi sang putri.
"Daddy" guman Irene parau.
Mata bocah itu mengerjap, begitu posisinya terduduk di gendongan Wondy, dan menatap Tiffany dengan pandangan polosnya.
Tiffany mematung, cengraman pria itu yang tak lagi menyakiti lengannya justru terasa semakin kebas, dan merambat ke kedua kakinya yang kini susah untuk di gerakkan.
Pandangan bocah itu, seperti terdapat magnet disana, yang bisa mengundang Tiffany untuk terus menatapnya. Pandangan polos yang Tiffany sangat rindukan. Entah kenapa tiba - tiba hati Tiffany sakit, seperti tersayat oleh puluhan duri yang mampu membuatnya lemas.
"Kita harus bicara Tiffany" ucap Wondy menyadarkan Tiffany dari lamunanya.
"Untuk apa? Aku bukan siapa - siapa untukmu lagi Wondy. kamu nggak berhak mencegah aku pergi seperti ini"
"Kita memang bukan siapa - siapa. Tapi tidak dengan Irene, kau Ibunya"
"Irene?" tanya Tiffany menyerengitkan dahinya.
"Dia anakmu. Irene namanya" tangan Wondy terulur untuk mengusap puncak kepala Irene, dan bocah itu terkikik geli.
Senyuman Irene yang membuat mata bulatnya terlihat mengecil seperti bulan sabit, mirip seperti milik Tiffany, meyakinkan bahwa memang bocah yang berada di dalam gendongan Wondy adalah anaknya.
Tiffany merasakan jantungnya berhenti berdetak sekarang. Jika Tiffany boleh memilih, maka lebih baik ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya di Ibu Kota yang begitu berbekas akan kenangan ini.
BERSAMBUNG
Maaf jika Typo berkeliaran..
Masih atas partisipasi Reders untuk karya ku yang satu ini. :)
KAMU SEDANG MEMBACA
God Daddy (Series #1)
Ficción General"Aku pergi" ucap seorang wanita melangkahkan kakinya, setelah ia menyerahkan bayi perempuan ke dalam gendongan seorang pria bermata tajam di depannya. "Kamu yakin meninggalkan bayi ini?" ucap pria itu tak percaya. Tatapannya beralih pada wajah mungi...