6. wonderland

51 9 4
                                    

Moza menghabiskan muffin coklat di tangannya perlahan. Matanya terpaku pada novel yang tengah dibacanya. Baru sampai halaman 15, tapi matanya terasa sangat berat. Semakin lama semakin berat, hingga Moza tak menyadari lagi keadaan di sekelilingnya.

Sekonyong-konyong terdengar suara beberapa anak yang sedang asyik bercengkrama. Moza memicingkan matanya, menatap wajah beberapa gadis kecil yang bernyanyi sambil mengeluarkan kudapan yang terlihat lezat.

Moza memperhatikan mereka dengan seksama. Salah seorang gadis kecil dengan rok berlipit merah menghampirinya.

"Kejutan!" Serunya sambil menarik tangan Moza. Gadis itu tercengang. Dikerjap-kerjapkan matanya mencoba mengembalikan kesadarannya. Tapi gadis kecil itu tertawa lepas sambil menyodorkan beberapa jenis makanan yang dibawanya.

"Vivian?" Moza menatap gadis itu lekat.
Vivian dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Perlahan kesadaran Moza kembali.

"Siapa mereka, Viv?" Moza menatap beberapa teman Vivian yang tengah bercengkrama.

"Teman-teman kita, Za! Ayo gabung!" Vivian menarik Moza untuk bermain dan tertawa bersama-sama.

Moza melebur bersama Vivian dan teman-temannya hingga tak terasa udara mulai dingin. Awan berkumpul sementara matahari perlahan mulai tenggelam. Satu persatu teman barunya meninggalkan tempat itu termasuk Vivian. Moza tertegun menyadari dirinya sendirian di tempat yang asing. Kemana teman-temannya tadi menghilang? Dimana ia sekarang? Sejauh mata memandang hanya terlihat padang rumput yang luas.

Tiba-tiba Moza dikejutkan oleh suara seorang anak laki-laki yang menghampirinya sambil membawa lentera.

"Kamu sendirian? Ini sudah malam loh!" Serunya ramah. Moza memperhatikan anak laki-laki yang menggunakan kemeja biru dan celana denim itu. Rambutnya yang kecoklatan dibiarkannya gondrong tapi rapi.

Sorot matanya yang tajam terkesan misterius. Seolah-olah anak itu ingin mengucapkan sesuatu tapi tertahan di tenggorokannya.

"Maaf, ini tempat apa? Saya ada di mana?" tanya Moza kebingungan. Anak laki-laki itu melambaikan tangannya lalu cepat-cepat pergi meninggalkan Moza sendiri.

Moza mulai ketakutan, keringat dingin mengalir dari tubuhnya. Tangannya masih menggenggam lentera yang ditinggalkan anak laki-laki itu. Jantungnya berdetak kencang dan lututnya lemas.

Malam mulai menampakkan taringnya, Moza menatap bayangannya sendiri dalam keremangan lentera. Kakinya melangkah mengikuti kata hati yang tak bersuara. Malam yang sepi, menyisakan suara napasnya sendiri yang mulai tersengal. Nyanyian jangkrik yang sayup-sayup terdengar membuat bulu kuduknya berdiri.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa tiba-tiba dia berada di tempat asing tanpa seorangpun teman?

Ingatannya kembali pada Vivian, sahabatnya sejak kecil yang jatuh dari jembatan penyeberangan dan tidak pernah kembali lagi.

Moza menatap ngeri ke kejauhan. Apakah Vivian memang sudah tidak ada? Kalau begitu, dimana dia sekarang?

Tiba-tiba sebuah suara jeritan melengking memecah kesunyian. Seketika Moza berbalik mencari asal suara. Seorang wanita dengan gaun merah muda panjang menatapnya tajam. Lingkar matanya yang hitam sangat serasi dengan bibirnya yang berwarna senada.

Wanita itu berjalan mendekat. Ya, berjalan dan tidak meluncur. Lutut Moza lemas, langkah kakinya terhenti tak bisa di gerakkan.

Wanita itu menarik tangannya, memperlihatkan kuku-kuku merah mudanya yang tajam. Moza menahan napas dan berusaha melawan ketakutannya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" desis wanita itu tak bersahabat.

"Saya tersesat," Moza berkata lirih.

"Tidak mungkin ada anak yang tersesat di sekitar sini. Kamu sudah jadi bagian dari kami. Bersiaplah sebelum Ratu Merah muncul dan memangsamu!"

"Tidak! Rumahku bukan di sini. Aku tersesat! TOLONG! AKU MAU PULANG!" Moza menjerit histeris.

Wanita itu membekap mulutnya sambil tertawa, menampakkan gigi taringnya yang berkilauan tertimpa sinar lentera. Matanya membelalak, seolah siap menerkam.

Moza meronta, dikerahkannya segenap tenaga untuk lari dari wanita itu. Genggamannya terlepas, Moza berlari sekuat tenaga tanpa menoleh ke belakang. Diterjangnya hutan yang pekat dan gelap. Lentera ditangannya mulai redup dan hampir kehilangan cahaya.

Moza berlari, dan terus berlari hingga menemui lapangan dengan rumput hijau seperti tadi, seperti saat dia berlari dari wanita berbaju merah muda yang menatapnya sambil tertawa di hadapannya! Moza berbalik dan kembali berlari menembus hutan, lalu tiba di tempat yang sama.

Moza terus berlari walaupun kembali di tempat yang sama. Kakinya mulai lemah, tubuhnya kehilangan kendali dan napasnya tinggal satu-satu.

Wajahnya memucat dan pikirannya kacau. Moza jatuh terduduk, keringat bercampur air mata membasahi bajunya. Jantungnya yang semula tak beraturan kini mulai melemah dan teratur.

Moza menarik napas panjang beberapa kali, dan menyadari wanita berbaju merah muda sudah tak terlihat lagi. Dirinya kembali sendirian dalam kesunyian. Entah mana yang lebih baik, bersama teman wanita aneh bergigi taring atau diam sendiri dalam pekatnya malam dan kesunyian.

Sekonyong-konyong Moza melihat Vivian melangkah ke arahnya. Kian lama kian dekat. Tapi vivian tak bisa lebih dekat lagi. Kakinya membeku tak bisa digerakkan, hanya tangannya diulurkan seolah ingin menggapai Moza, tapi tangan gadis itu hanya menyentuh angin. Matanya menatap Moza dengan pandangan aneh, seolah ingin menyuruhnya pergi.

Tak berapa lama lentera di tangan Moza kembali terang, beberapa teman Vivia yang tadi bermain bersamanya muncul satu persatu. Moza menatap mereka penasaran, semua mata menatap kosong ke depan dan terdiam seperti patung.

Wajah mereka tak memiliki cahaya kehidupan. Bahkan saat Moza melihat pemuda yang memberinya lentera, sekarang juga berdiri seperti patung di sampingnya.

Moza mundur perlahan, keringat dingin mengalir dan jantungnya berdetak kencang. Tangannya yang gemetar menggenggam lentera erat-erat.

Angin dingin bertiup, Moza bersidekap sambil menahan giginya yang saling beradu. Tercium aroma bunga sedap malam yang kian lama kian dekat.

Matanya menangkap seorang wanita cantik, dengan gaun merah panjang dan mahkota emas. Tangannya  memegang tongkat besar berbentuk garputala. Di belakangnya, wanita dengan baju merah muda panjang yang tadi, muncul sambil menyeringai.

Wanita berbaju merah itu menarik Vivian dan teman-temannya dengan hanya menggerakkan tongkatnya. Mereka bergerak dan berputar seperti boneka tali. Moza terkesiap, dan bersiap untuk berlari.

Tapi tubuh Moza tak bisa digerakkan, seolah-olah ada tali tak kasat mata yang menggerakkannya. Tubuhnya bergoyang ke kanan dan ke kiri tanpa bisa dikendalikan. Moza berusaha meronta, tapi sia-sia.

Semakin lama Moza semakin kehilangan kendali, hingga akhirnya gadis itu pasrah bergerak sesuai keinginan ratu Merah.

Moza tak mampu melawan lagi, tenaganya sudah terkuras habis. Dibiarkannya ratu merah membuatnya bergerak sesuka hati.

Tiba-tiba langit berubah terang, dan angin dingin kembali bertiup. Moza merasa tubuhnya berputar sangat cepat hingga kepalanya sakit. Gadis itu jatuh terjerembab dibawah pohon akasia.

Moza membuka matanya perlahan. Di hadapannya membentang padang rumput yang tidak asing. Tangannya masih menggenggam novel yang tadi dibacanya dan kertas pembungkus muffin yang sudah lusuh.

Ini kebun di belakang rumah neneknya, dimana Moza menghabiskan liburannya.


The Sound of a Dark Room (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang