Author's POV
Pagi ini matahari bersinar cerah. Seolah memberi semangat pada Farah yang menyalakan motornya dengan malas. Dalam benaknya terbayang tugasnya di sekolah baru.
Menjadi guru pendamping di sekolah inklusi. Bekerja sama dengan guru kelas yang sama sekali belum dikenal. Berinteraksi dengan guru-guru sekolah dasar yang pasti antusias mendengar kisahnya selama mengajar di SLB. Dan satu lagi, menyaksikan riuh rendah siswa-siswa sekolah dasar yang menyebalkan.
Ini rahasia, tapi benar adanya. Farah membenci anak kecil usia sekolah dasar. Sejak dulu. Padahal Bapak Ibunya adalah guru sekolah dasar, tapi Farah menolak mati-matian mengikuti jejak Bapak Ibunya menjadi guru SD.
Baginya, anak usia sekolah dasar itu rewel, suka ribut, tidak bisa diatur dan banyak hal lain yang membuatnya sebal. Oh ya, jangan lupakan betapa anak-anak itu caper alias cari perhatian kepada orang dewasa dengan tingkah anehnya.
Lalu kenapa Farah justru memilih menjadi guru sekolah luar biasa ketika dia membenci anak kecil? Karena baginya, anak berkebutuhan khusus itu berbeda.
Sungguh, pernahkah kamu bertemu langsung dengan anak-anak berkebutuhan khusus? Entah itu anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa ataupun autis. Kalau belum, mungkin kamu belum pernah merasakan apa yang Farah rasakan ketika pertama bertemu anak berkebutuhan khusus itu.
Ketika itu, Farah masih semester pertama di kelas 3 SMA. Dikerubuti pertanyaan 'hendak kuliah dimana?' dan 'mau ambil jurusan apa?'. Farah masih belum memutuskan apa-apa ketika itu. "Yang jelas bukan Pendidikan Guru Sekolah Dasar," begitu selalu jawabannya.
Dan tibalah hari itu, Farah sedang menunggu bis yang membawanya pulang ketika dia melihat ada seorang anak tunanetra yang hendak menyeberang jalan. Jam pulang sekolah dan kantor, dapat dipastikan jalanan penuh. Anak itu hanya diam di pinggir jalan, mengangkat sebelah tangannya untuk memberi kode bahwa dia hendak menyeberang.
Bermenit-menit berlalu, tak ada satupun mobil dan motor yang mau mengalah untuknya. Farah geram. Maka melangkahlah dia, menghampiri anak itu. Menggandeng tangannya, menghentikan paksa beberapa mobil dan motor demi anak yang belum dikenalnya itu.
Sesampainya di seberang jalan, anak itu mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis. Ketika itu, Farah bertanya, "Kamu yakin bisa pulang sendiri? Perlu Kakak antarkan sampai rumah?"
Dan anak itu menggeleng, tersenyum lembut sambil melambaikan tangan. Tentu saja lambaian tangannya tidak tepat pada sosok Farah. Tapi senyum dan lambaian tangan itu yang mengubah Farah.
Ternyata sesederhana usahanya menyeberangkan jalan bagi anak tunanetra itu membuat hati Farah menghangat. Ada rasa bahagia yang tak terdefinisikan ketika melihat senyum penuh terima kasih dari anak tunanetra itu. Dan bulatlah keputusan Farah untuk mengambil jurusan Pendidikan Luar Biasa.
Lamunan Farah terhenti ketika dia sampai di gerbang sekolah. Dia pun memarkirkan motornya di tempat biasa. Melepas jaket, sarung tangan dan masker.
"Assalamualaikum," sapanya pada Bu Rima.
"Waalaikumsalam. Lho, Farah, kamu kenapa ke sini?" Bu Rima menyalami Farah dengan heran.
Farah terdiam. Memiringkan kepalanya, menatap pintu gerbang di hadapannya. Sesaat kemudian kesadaran menghantam dirinya.
"Ya Allah ... kenapa Farah ke sini, Bu?" Farah menepuk dahinya keras. Lalu dia bergegas mengenakan kembali jaketnya untuk menuju sekolah barunya.
Bu Rima hanya tertawa melihat kegugupan Farah. Pasti Farah merasa berat meninggalkan sekolah ini, batin Bu Rima sambil melambaikan tangan pada Farah.
"Pasti gara-gara keinget jaman SMA tadi jadi nyasar ke SLB lagi. Duh udah jam segini lagi, pasti telat deh," Farah menggerutu sepanjang jalan menuju sekolah barunya.
Dan benar saja, di Sekolah Dasar Harapan Bangsa anak-anak sedang melaksanakan upacara bendera. Farah segera memarkirkan motornya, melepas jaket dan bergegas bergabung dengan guru-guru di sekolah itu.
"Guru baru ya, Bu?" sapa seorang guru berkacamata di samping Farah.
Farah mengatur napasnya sebelum menjawab, "Iya, Bu. Saya Farah, guru pendamping khusus pindahan dari SLB Harapan Bangsa."
"Oh iya ... Ibu sudah dengar. Saya Bu Ratna, guru kelas 4. Selamat bertugas ya, Bu," Bu Ratna tersenyum ramah.
Upacara berjalan dengan lancar. Atau nyaris lancar. Di barisan kelas 1 ada anak yang membuat ulah. Dia sesekali berlari ke depan barisan, melompat-lompat, bertepuk tangan, lalu kembali ke barisan. Farah hanya tersenyum menatap calon murid barunya.
"Bu Farah?" sapa Pak Edi setelah upacara selesai. Pak Edi adalah kepala SD Harapan Bangsa.
"Iya, Pak. Saya Farah," Farah menganggukkan kepalanya sopan.
"Ini Pak Radit, guru kelas 1. Dan itu Faqih, siswa berkebutuhan khusus yang akan Bu Farah dampingi. Kalau ada yang perlu ditanyakan silakan bertanya pada Pak Radit ya," Pak Edi menepuk pundak guru muda di sampingnya.
"Farah," Farah mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Radit," sahut laki-laki itu, suaranya tegas namun terkesan riang.
Dan dimulailah hari-hari Farah di sekolah ini. Bersama anak-anak yang masih dia anggap menyebalkan, meskipun ada satu anak yang pasti jadi penghibur hari-harinya di sini. Semoga....
Notes :
Tunanetra : anak dengan hambatan penglihatan (buta)
Tunarungu : anak dengan hambatan pendengaran (bisu-tuli)
Tunadaksa : anak dengan hambatan fisik
Autis : anak dengan hambatan pertumbuhan, meliputi komunikasi, interaksi sosial dan masalah perilaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Beda
ChickLit"Kenapa sih mau jadi guru buat anak-anak cacat itu?" "Mulutnya itu lho, Pak Guru. Dijaga. Mereka bukan anak-anak cacat. Mereka hanya berbeda." "Lalu kenapa kamu mau jadi guru mereka?" "Karena mereka luar biasa."