Author's POV
"Jadi teknisnya gimana?" Radit bertanya pelan sesaat setelah Pak Edi beranjak ke kantor guru.
Farah menoleh, "Ya gitu, kamu mengajar di depan, mimpin kelas. Aku mendampingi Faqih. Oh iya, berarti aku harus duduk di sebelah Faqih ya."
Radit menggaruk tengkuknya. Kikuk. Tatapan hangat Farah membuatnya salah tingkah. Sudah banyak wanita yang dikenalnya selama ini, tapi entah kenapa Farah terasa berbeda. Klise sekali....
"Kamu kenapa mau jadi guru buat anak-anak cacat itu?" Radit kembali membuka percakapan.
Tanpa diduga, Farah berbalik dan menatapnya tajam. Sorot mata hangat itu berubah mengganas. Ada kemarahan dan juga kesedihan dalam binar matanya.
"Jaga mulutmu, kita masih harus bekerja sama selama satu tahun. Aku tidak mau bekerja sama dengan orang yang bahkan tidak bisa menghargai mereka," tandas Farah yang kemudian bergegas ke parkiran mengambil tas dan jaket untuk dibawa ke kantor guru.
Radit kembali menggaruk tengkuknya, bingung. Menatap punggung Farah yang tertutupi jilbab lebarnya. Meneliti bentuk fisik Farah yang tersembunyi di balik seragam dan jilbabnya. Sedikit mesum memang, tapi bukankah banyak laki-laki yang seperti itu?
Farah memasuki ruang guru dengan menyimpan kekesalan. Ternyata partner kerjanya itu persis seperti mimpi buruk. Belum mampu menghargai anak berkebutuhan khusus dengan baik.
"Bu Farah, mari duduk. Ini tempat duduk Bu Farah, di sebelah Pak Radit," terdengar suara Bu Ratna mempersilakan Farah duduk.
Farah pun tersenyum sopan dan menaruh tas serta jaketnya di kursi. Di sebelahnya Radit menyusul duduk. Sesekali Farah merasa Radit meliriknya, namun dia memutuskan tak acuh dan fokus pada materi rapat.
Pak Edi memulai rapat dengan salam dan memperkenalkan Farah sebagai guru baru. Farah akan ditempatkan di kelas 1 untuk mengajar bersama Radit namun Farah lebih fokus pada Faqih.
10 menit kemudian rapat selesai. Guru-guru segera bergegas menuju kelas masing-masing. Pun juga dengan Farah dan Radit. Radit membawa buku-buku yang akan digunakan untuk mengajar nanti.
Farah? Membawa sebuah buku catatan kecil dan bolpoin. Farah tidak berniat membantu Radit, dia hanya melenggang menuju kelas dengan santai.
"Bukannya ini hari pertama? Ngapain bawa buku sebanyak itu?" Farah berbicara pelan seorang diri sambil menatap punggung tegap Radit yang berjalan di depannya.
Mereka berdua memasuki ruang kelas 1. Anak-anak terlihat berlarian kesana kemari, berbicara dengan suara keras dan bahkan tertawa terbahak-bahak. Ada beberapa orangtua siswa yang menunggui anaknya sekolah di hari pertama ini. Menyebalkan, kesan pertama Farah di kelas ini.
Tapi lihatlah, di sana. Di salah satu bangku deretan belakang. Seorang anak laki-laki bertubuh sedang, tidak terlalu gemuk namun juga tidak kurus. Duduk diam sambil menatap jendela di sebelahnya. Tak peduli dan tak mau peduli pada teman-teman di sekitarnya.
"Anak-anak, ayo duduk di tempat masing-masing. Kita mulai belajar ya," suara Radit membuat siswa-siswa itu bergerak menuju kursinya masing-masing.
Farah menempatkan diri di samping Faqih. Meletakkan bolpoin dan buku catatan kecilnya di meja. Menatap lurus ke arah Radit yang kewalahan mengatur siswa-siswanya. Ada yang tidak mau ditinggal orangtuanya keluar, ada pula yang meneruskan ceritanya pada teman sebangku. Ribut.
Setelah berhasil mengkondisikan siswa-siswanya, Radit memulai pelajaran. Tentu di hari pertama ini belum terlalu banyak belajar. Hari ini mereka hanya berkenalan dan bersenang-senang terlebih dahulu.
"Baiklah, anak-anak yang cantik dan ganteng. Hari ini sudah masuk SD ya? Senang tidak sekolah di SD Harapan Bangsa?" Radit membuka percakapan dengan siswa-siswanya.
"Senang, Pak," jawaban siswa-siswanya itu terdengar bersahut-sahutan.
"Oh ya? Kenapa senang?" Radit kembali bertanya sambil berdiri santai di antara dua baris kursi.
Anak yang terdekat dengan Radit menjawab dengan lantang, "Dapet uang jajan banyak, Pak."
Radit tertawa sambil mengusap kepala anak itu, "Itu saja? Bukan karena bertemu dengan Bapak ya? Sudah ada yang tahu nama guru kalian ini?"
Anak-anak terdiam. Melirik kanan kiri. Bersikut-sikutan. Sampai terdengar suara dari kursi di deretan belakang ...
"Raditya Heriansyah"
Farah menoleh kaget. Itu suara Faqih. Suara pertamanya di kelas ini. Dengan lantang dia menjawab pertanyaan Radit. Dan benar, nama panjang Radit adalah Raditya Heriansyah.
"Betul sekali," Radit tersenyum, "siapa namamu, Nak?" tanyanya sambil berjalan mendekati Faqih.
"Oh iya, kalian bisa memanggil Bapak dengan sebutan Pak Radit ya, tidak perlu nama lengkap," sambung Radit yang masih menunggu jawaban Faqih.
Farah mengambil alih. Menarik kursi Faqih hingga menghadap padanya. Membuat kontak mata dan kembali bertanya, "Siapa namamu?" sambil menepuk dada Faqih.
"Faqih," terdengar jawaban Faqih.
"Faqih? Nama yang bagus. Dan oh ya, Ibu guru yang bersama Faqih itu namanya Bu Farah. Siapa namanya, anak-anak?" Radit melempar pertanyaan pada siswa kelasnya.
"Bu Faraaaah..." suara anak-anak yang terdengar riuh rendah hanya dibalas senyum oleh Farah.
"Pak Radit, Faqih kenapa? Kok aneh sih?" tiba-tiba terdengar pertanyaan dari salah satu siswa di kelas itu.
"Mmmm itu karena ... karena ..." Radit terbata, melirik Farah meminta bantuan.
Farah tersenyum, lantas menjawab "Karena Faqih berbeda, tapi bukan berbeda yang jelek. Nanti kalian akan melihat kalau Faqih itu luar biasa."
"Faqih anak cacat ya, Bu? Kenapa sekolah di sini?" sambung anak lain.
Aaaarggghhh ... ini kenapa aku nggak mau jadi guru di sekolah inklusi, batin Farah kesal.
"Sudah, kan Bu Farah sudah bilang, Faqih hanya berbeda. Nanti kalian kenalan dan bermain dengan Faqih ya. Sekarang kita belajar dulu," Radit menengahi.
Mungkin dia tak seburuk itu, mungkin aku bisa bekerjasama dengannya, Farah kembali membatin. Kini ada perasaan lega menyusup hatinya. Dia mempunyai partner kerja yang terlihat cocok dengannya. Semoga....
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Beda
Literatura Feminina"Kenapa sih mau jadi guru buat anak-anak cacat itu?" "Mulutnya itu lho, Pak Guru. Dijaga. Mereka bukan anak-anak cacat. Mereka hanya berbeda." "Lalu kenapa kamu mau jadi guru mereka?" "Karena mereka luar biasa."