Author's POV
Farah mengajak Faqih ke perpustakaan saat istirahat berlangsung. Sedikit kejam memang. Tapi Farah akan melakukan assesmen. Tentu Farah tidak mau mengajak Faqih pulang lambat untuk assesmen.
Farah mendengus kesal. Assesmen ini tidak akan berhasil jika ruangannya tidak kondusif. Dan bukan salah siswa-siswa di sini jika mereka memutuskan berada di perpustakaan saat istirahat. Bahkan seharusnya sebagai guru Farah bangga melihat siswa-siswa itu antusias membaca buku.
"Terus dimana dong, Qih? Mau nanti aja abis pulang? Kasian kamu, Bu Farah juga capek lah," Farah mengajak bicara Faqih yang asyik melihat-lihat buku-buku di rak.
Faqih menarik sebuah buku, lalu memindahkannya tiga buku ke kanan. Hal ini tak luput dari pengamatan Farah. Dia hanya mengerutkan kening bingung melihat Faqih memindah-mindahkan buku di rak tersebut. Lalu dia tersadar.
Diperiksanya nomor buku yang dipindahkan Faqih. Gotcha ... Faqih mengurutkan kembali buku-buku tersebut. Dia menangkap sistem penyimpanan buku itu dengan cepat. Farah tersenyum. Faqih cerdas, tinggal bagaimana aku mencari jalan mengungkapkan kecerdasannya pada banyak orang, batin Farah senang.
Farah memutuskan ke kantor guru. Dia merasa tidak perlu assesmen yang terlalu mendetail seperti yang dulu dia lakukan pada Alif. Lagipula ini di sekolah inklusi, apa pentingnya untuk guru-guru lain? Toh aku yang akan mengajari Faqih, batinnya lagi.
"Assalamualaikum," ucap Farah ketika memasuki kantor guru.
"Waalaikumsalam. Sini Bu Farah, ada gorengan lho. Ndak usah ngikutin Faqih terus-terusan. Santai aja di sini," ucap seorang guru yang belum dihafal namanya oleh Farah.
Farah tersenyum mengiyakan. Meskipun hatinya tidak. Farah takut Faqih menjadi korban bullying oleh teman-teman sebayanya. Bagaimanapun, Faqih 'berbeda'.
Saat Farah duduk di kursinya, ada seorang anak menerobos masuk kantor guru tanpa salam. Faqih. Dia mencari-cari sesuatu atau seseorang. Lalu berhenti, dan berjalan menuju Farah dan Radit yang duduk bersebelahan.
"Faqih, tidak boleh seperti itu. Bilang salam dulu baru masuk kantor. Ayo bilang salam dulu," Farah menarik Faqih untuk kembali ke pintu.
Faqih memberontak, tapi Farah tidak gentar. Diseretnya tubuh Faqih kembali menuju pintu. Beberapa kali Farah terlihat nyaris jatuh karena beban tubuh Faqih, tapi dia tidak menyerah.
"Bu Farah, biarkan saja, Bu. Tidak apa-apa. Faqih masih kecil juga kan," tegur Pak Edi yang khawatir melihat Farah dan Faqih.
"Tidak, Pak. Saya harus melakukan ini," tukas Farah dingin.
Sesampainya di pintu, Farah menahan tubuh Faqih yang hendak masuk ke dalam kantor.
"Ucapkan salam. 'Assalamualaikum'. Ayo ucapkan," kata Farah tegas.
Faqih bergeming. Bibirnya tidak terbuka sama sekali. Dia bersikeras tetap masuk dan mendorong tubuh Farah.
"Tidak, Faqih. Ayo ucapkan salam. Mau Bu Farah sentil?" dan ucapan Farah itu bukan ancaman belaka. Ketika Faqih kembali memaksa masuk Farah menyentil telinga Faqih. Tidak keras, hanya membuat Faqih terkejut.
"Assalamualaikum," ucap Faqih akhirnya.
Farah menarik napas lega. Dia pun menggeser badannya, memberi jalan bagi Faqih untuk masuk. Faqih berjalan nyaris berlari menuju Radit yang terbengong melihat 'kekejaman' Farah. Radit tidak menduga seorang selembut Farah bisa setegas itu pada siswanya.
"Bu Farah tidak harus terlalu keras pada siswa. Kasian Faqih disentil seperti tadi," ucap Pak Edi mengingatkan.
"Maaf, Pak. Saya bukannya melakukan kekerasan atau semacamnya, tapi saya harus tegas untuk membentuk pribadi Faqih. Mohon maaf bila tindakan saya tadi kurang berkenan," jawab Farah sambil menundukkan kepala menghormat.
Faqih terlihat memainkan buku catatan dan bolpoin milik Farah. Farah berdiri di samping kursi yang diduduki Faqih karena tidak ada kursi yang kosong. Kantor guru kembali mencair. Obrolan-obrolan kembali berlanjut setelah terputus insiden tadi.
"Silakan duduk, Bu," Radit memberikan kursinya untuk Farah dan berjalan mengambil kursi plastik di pojok ruangan. Tentu Farah tidak tahu, karena Farah baru dua kali duduk di ruangan ini.
"Terimakasih," ucap Farah saat Radit kembali duduk di dekat Faqih.
"Iya, sama-sama," Radit memberikan senyumnya, "Faqih lagi ngapain itu? Menggambar?" Radit mengalihkan pandangan pada Faqih yang sibuk mencoret di buku milik Farah.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Faqih tahu nama Bapak dari mana?" tanya Radit lagi.
Faqih diam hingga namanya dipanggil oleh Farah dengan tegas. Memintanya menjawab pertanyaan Radit. Faqih hanya diam, lalu menunjuk nametag yang digunakan oleh Radit.
"Wah Faqih sudah pandai membaca ya? Hebat, Faqih pintar," puji Radit sambil mengusap kepala Faqih.
"Tidak. Faqih bodoh. Faqih tidak pintar," jawab Faqih tanpa menatap Radit.
Ucapan ini sontak membuat Farah menarik tubuh Faqih menghadapnya. Membuat kontak mata dan bertanya dengan suara bergetar menahan tangis, "Siapa? Siapa yang bilang Faqih bodoh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Beda
Romanzi rosa / ChickLit"Kenapa sih mau jadi guru buat anak-anak cacat itu?" "Mulutnya itu lho, Pak Guru. Dijaga. Mereka bukan anak-anak cacat. Mereka hanya berbeda." "Lalu kenapa kamu mau jadi guru mereka?" "Karena mereka luar biasa."