Arctic

22 1 0
                                    

Rasa-rasanya sudah sunyi, sampai detik jam dinding diatas televisiku terasa terdengar kencang sekali

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rasa-rasanya sudah sunyi, sampai detik jam dinding diatas televisiku terasa terdengar kencang sekali. Tak ada suara jangkrik seperti di kampung halamanku kalau malam-malam. Sesekali terdengar dari jalan kendaraan lewat dan suaranya hilang dimakan jarak, suara favoritku sejak empat tahun lalu. Rasanya masih asyik bercengkrama dalam ruang obrolan padahal sebenarnya sudah tidak ada lagi bahasan.

"Tidur kamu! ini sudah lewat tengah malam"

"Belum ngantuk, lagian tidur semalam apapun aku tetap bangun pagi gak kaya kamu"

"Aku setiap hari tidur jam 2 , jam 7 aku pasti sudah bangun"

"Iya tapi tidur lagi, lihat saja besok"

"Kalau aku besok bisa bangun pagi dan gak tidur lagi kamu mau apa?"

"Kasih dunia dan seisinya cukupkan?"

"Tidak, dunia dan seisinya punya Allah semata, ada yang lebih menarik?"

"Ngopi,"

"Gak ah bosan yang lain"

"Kalau aku jawab nonton itu mau kamu"

"Iya nonton horor aku traktir deh"

"Bilang aja mau ketemu"

"Ih kan itu hadiah atas prestasi bangun pagi" Dia selalu punya alasan untuk bertemu. Kedua ibu jariku bingung menekan huruf apa, pikiranku juga sama bingungnya. "Ya?" obrolan darinya muncul lagi menyusul menunggu persetujuan tapi tak kubalas sampai esok pagi.

...

"Oke siapa takut" aku menjawab tantangannya dengan berani. Aku baru membalasnya pukul tujuh pagi. Pagi yang cocok untuk bermalas-malasan di hari Sabtu yang kosong namun banyak pekerjaan rumah menunggu kesadaranku membereskan ruangan berpetak ini.

"Nah gitu dong! Berani jangan takut terus" dia membalas dengan cepat.

"Kamu sudah bangun?" aku membalasnya juga dengan cepat.

"Kan aku sudah bilang bangun pagi bukan hal yang sulit!" katanya

"Paling sebentar lagi juga lanjut tidurnya" aku meledeknya.

"Enggak ya sok tau kamu, sedang apa kamu?" dia membalas lagi.

"Sedang mager dan gabut" aku menjawabnya dengan asal-asalan.

"Kalau gabutnya besok kita nonton horror! Hari ini aku mau ke festival music di Lembang"

"Maunya nonton horror!"

"Itukan hadiah untukku!"

...

"Gimana semalam nontonnya, katanya macet total?" Aku memancingnya agar berbicara. Selama ini kami bersama memang tak banyak bicara. Aku memandang matanya yang besar berikut kedua alisnya yang tebal.

Dia memandangku dan mulai berbicara, "Dua jam aku sampai sana, gak terlalu macet soalnya aku tahu jalan lain yang gak macet, lewat Dago Giri.". Sejenak dia menghembuskakan nafas ringan, aku memperhatikannya berbicara lalu mulutnya terbuka lagi. "Terus aku gak ngerti sama perempuan-perempuan yang datang kesana pakai sepatu hak tinggi, kan sudah dikasih tau pakai boots, itu pesta hutan mana lagi hujan pula. Taukan tanah gunung kalau kena air? 'Mblesek' tuh hak sepatu! Astaga!" Dengan gusar ia menjelaskan yang menurut pemikirannya itu hal yang bodoh untuk dilakukan perempuan menyangkut keselamatan diri perempuan itu sendiri. "Belum lagi ya, kamu tahu kan udara Lembang gimana? Dan mereka dengan PD-nya pakai celana gemes, baju pendek, padahal pestanya sampai tengah malem pula." Dia melanjutkan ceritanya.

Aku terkikik geli mendengarnya tidak sengaja terbayang perempuan memakai hak tinggi berpesta di hutan meliuk-liukan badannya dengan baju yang akan membuatnya masuk angin besok pagi. "Mungkin itu yang gak tau Lembang gimana Kak, atau mungkin orang-orang dari luar kota?" aku menduga-duga.

"Ya bisa jadi, tapi harusnya mereka mikir lah, terus di tiket sudah jelas-jelas disebutkan pesta hutan disarankan memakai boots," dia tampaknya masih belum bisa terima.

"Terus kamu pakai apa kesana, Kak?" aku bertanya tentangnya, karena aku memang pada dasarnya tidak peduli apa yang orang lakukan, aku lebih peduli padanya.

"Aku pakai sandal itu, pakai jaket, sudah" dia menunjuk sandal gunung bertali biru hitam yang berada dekat pintu dengan matanya. Aku akui dia ke pesta pun gayanya seperti saat ini. Kaos, celana jeans, jaket, topi, sandal. Dia memang payah dalam berpakaian. Payah sekali. "Aku pulang jam dua malam sampai di kontrakan teman jam 4 tidur sebentar langsung angkut barang," dia melanjutkan ceritanya.

"Sama siapa aja kesana emang?" aku bertanya lagi.

"Bertiga, laki-laki semua. Terus pas habis angkut barang aku tiduran tuh dikursi terus ketiduran betulan, aku kaget liat jam padahal ke kamu aku janji siang, eh itu udah maju ke sore untung sebelum angkut barang aku udah beli film dulu", tumben dia banyak bicara sekarang dalam hati tak sengaja aku berkomentar.

"Kamu harus pulang", aku mengingatkannya agar cepat pulang. Tanpa aku harus melihat keluar langit sudah hitam legam. Tidak ada suara apa-apa lagi hanya hening sesekali hanya ada kendaraan yang lewat. Ini pukul 12 malam, tengah malam aku masih bersama seorang lelaki. Hari ini kami bersama sejak pukul dua siang. Katanya sih mengganti malam mingguan yang terlewat kemarin. Padahal, baru Kamis lalu kita bertemu tapi ia selalu punya alasan untuk bertemu lagi dan lagi.

"Nanti dulu, baru juga ketemu," ia berkata seakan kita baru bertemu lima menit yang lalu. Padahal sudah sepuluh jam kami bersama. Menonton film marathon ditempatku. Katanya aku harus mulai berani menonton film horror. Lagi-lagi alasan klasik untuk bertemu. Dengan bodohnya aku mengiyakan.

"Siapa suruh ketiduran", aku menyalahkannya tapi sebenarnya aku memakluminya dia butuh tidur.

"Kan aku baru pulang subuh malam, terus aku bantuin teman pindah kontrakan" dia kembali beralasan, aku tau semalam dia datang ke konser Kodaline yang ada di Lembang bersama temannya. Lalu ia harus mengangkut barang temannya yang pindah kontrakan.

"Kan beberapa hari kedepan juga bisa ketemu," aku mencoba membujuknya.

"Dengerin dulu lagu Kodaline yang ini," dia mengalihkan pembicaraanku dengan mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Mencari satu lagu di youtube lalu memutarnya. High Hopes.

"Habis ini pulang ya?", aku mencoba bernegoisasi karena ini memang sudah benar-benar tengah malam.

Dia tak menjawab, hanya diam aku menurutinya untuk mendengarkan lagunya. Aku tau ini akan menjadi lagu kesukaanku selanjutnya. Ruanganku hening hanya ada suara nafas yang bergantian. Tubuhku duduk di kasur sedangkan dia duduk di lantai dengan kaki menyila. "Pegang nih sama kamu," katanya padaku menyerahkan ponselnya. Aku meraih ponsel hitamnya.

Dilayar sepasang kekasih paruh baya ditembak. "Ih kenapa mati semua?"

"Lihat saja dulu sampai tamat"

"Oohh, kukira mati keduanya" aku nyengir kuda setelah tahu akhir dari cerita itu.

"Makanya jangan dulu negative thingking" dia menyadarkanku, "Jangan suka menebak-nebak dengan pikiran negatif". Perkataannya begitu tersirat dan tersurat.

Lagu berakhir diapun bergerak menutup laptopnya yang terbuka lalu memasukkan pada ranselnya, selanjutnya ia menggulung kabel chargeran laptopnya dan menyusul laptop yang sudah ada dalam ransel. "Yaudah aku pulang ya?" dia bertanya padaku. Aku menganggukan kepala. Dia berdiri meraih ransel lalu menyampirkannya dipundak, lalu memakai topinya dan aku berdiri dari tempat dudukku untuk mengantarnya keluar ke tempat parker. Dia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin mobil hingga meraung, dan membuka kaca jendela, dia menekan klakson lirih, "Aku pulang ya!"

"Iya, hati-hati kak, makasih!" Aku berterimakasih tapi tidak tahu untuk apa. Aku hanya ingin berterimakasih padanya. Pada Kak Elang. Mobilnya menjauh pergi sampai hilang dari pandanganku dan sampai suaranya menjadi sayup.

Water Under The BridgeWhere stories live. Discover now