Suara notifikasi aplikasi chatting-ku berbunyi.
"Aku sudah sampai yaa Himeka"
Ibu jariku refleks membuka pesan begitu saja. Duh! Kenapa aku langsung membaca, nanti dia kira aku lagi menunggu pesan darinya. Sudah terlanjur dibaca maka aku langsung membalasnya. "Iya, jangan lupa tutup-tutup rumah terus tidur"
Sekitar lima menit kemudian notifikasi berbunyi lagi, "Sudah, aku belum mau tidur mau main Dota dulu"
Aku tak membalas pesannya, karena memang tak perlu dibalas. Kalau dia sudah main Dota dia takkan bisa diganggu. Aku bergegas mengganti bajuku dengan baju tidur dan membersihkan wajahku lalu merebahkan badanku di tempat tidur mematikan lampu dan menarik selimut. Sejenak ada pertanyaan yang melintas. "Apa yang sudah aku lakukan?".
Aku Narwastu Himeka perempuan berumur 22 tahun lelaki tadi Elang Jeladri lelaki berumur 24 tahun. Kak Elang panggil aku Himeka, katanya namaku aneh. Aku masih kuliah dan dia baru lulus dengan telat wisuda 2 tahun. Kami tidak satu kampus hanya satu kota. Aku anak rantau dari kota kecil dan dia asli Bandung dengan keturunan Jawa Tengah. Lelaki berkulit sawo matang, beralis tebal, berambut lurus, berkumis, tinggi sekitar 175 sentimeter. Dia senang memakai topi dan kaos belel.
...
Notifikasi berbunyi sekaligus memunculkan pesan yang masuk. "Besok apa kita bertemu ya? Kamu ada kelas?"
Aku melihat notifikasi di layar ponselku menyala dan pesannya muncul, aku tak ingin cepat membalas biarkan saja dulu beberapa puluh menit, sedikit menunggu tidak apa-apa. Dia memang tidak suka basa basi, kalau dia basa-basi rasanya payah sekali. Aku tahu dia introvert sama sepertiku. Ia tidak cukup banyak bercerita begitupula denganku. Kami juga jarang mengobrol di sosial media, seperlunya kami berkomunikasi, toh kami lebih nyaman bertemu daripada berkomunikasi via chat.
Seharian ini aku di kampus jadwalku padat sampai sore, sebenarnya besok aku harus menemui klien untuk menyelesaikan tugasku, mungkin dia bisa menunggu sampai pekerjaanku selesai. Perutku bunyi, tapi masih ada yang presentasi, tengah siang begini harusnya sudah istirahat. Aku hanya memandang kearah jendela kelas sudah enggan menjejalkan materi presentasi, biarkan mereka berbicara sendiri aku lagi tak mau menyimak. Hanya terdengar sayup-sayup ditelingaku suara teman sekelasku presentasi hasil temuannya dilapangan. Haus, kerongkonganku mencari air jeruk beres batu. Dadaku kembang kempis lambat karena aku sangat bosan. Aku mengecek ponselku tapi masih enggan membalas teks yang dikirimkan Kak Elang. Aku membuka platform instagram, ibu jari bergulir ketasa kebawah. Kebiasaan tanganku berkeringat membuat susah layar sentuh bergerak. Mulutku berkomat-kamit sendiri kesal dengan layar ponsel. Aku usapkan layar ponsel yang agak berair ke bajuku, lalu tanganku juga menyusul.
Duapuluh menit aku diamkan teks dari kak Elang, akhirnya aku hatiku tergerak cukup mendiamkannya dan segera membalasnya. "Besok aku harus ke kampus setelah itu bertemu klien. Paling sore menuju malam kita bertemu. Memangnya kenapa Kak?"
Aku menyimpan ponselku menunggu balasan darinya, dalam lima menit dia membalas pesan dariku. "Besok kabari aku kalau urusanmu sudah selesai ya!" dimemerintah.
Kebiasaan, dia tidak menjawab pertanyaanku. Mataku beralih dari ponsel melihat yang lain bertepuk tangan sebagai tanda karena presentasi sudah selesai dan aku bisa makan siang dengan teman-temanku.
...
"Nar, kemarin gimana ketemu Elang?" temanku Eva bertanya sambil menyuapkan makanan kedalam mulutnya setelah tadi kami mengantri cukup lama untuk mendapatkan makanan di kantin.
Aku meraih susu kocokku yang dingin, tadinya aku ingin es jeruk tapi ketika dipikir-pikir lagi aku ingin susu kocok. Lalu menyeruputnya, "Dia datang, kami nonton dua film horror sampai malam" aku menjelaskan, "Dia juga sedikit cerita waktu nonton konser di Lembang" aku melanjutkan. Eva teman terdekatku di kampus jadi kami sudah biasa bertukar cerita seperti ini terutama masalah lelaki.
YOU ARE READING
Water Under The Bridge
RomanceIs because right thumb swipe. Bandung fulfilled my peculiar life.