Stone

4 0 0
                                    

Pagi-pagi buta aku bangun meraih ponsel di meja nakas, melihat beberapa pemberitahuan dan kubuka satu persatu. Tapi, taka da pemberitahuan dari Kak Elang, akhirnya aku sengaja mematikan suara notifikasi agar nanti kejutan untukku. Sial! Sekarang aku punya pekerjaan menunggu tanpa disuruh. Katanya hari ini dia akan mengerjakan laporan bersama rekan-rekan lain. Terbenam survey maka terbitlah laporan. Tapi, mengapa aku harus menunggu? Padahal sebelumnya pun kami tak sering bercakap-cakap di ruang obrolan. Hari itu aku memilih tidur cepat karena sama sekali tak ada pesan teks dari Kak Elang untukku. Dari semalam telingaku bekerja mendengarkan bunyi-bunyi notifikasi yang datang lalu aku tidur lagi. Atau aku sedang berhalusinasi lalu terkena Textaphrenia. Pagi hari mengecek ponselpun tak ada satupun pesan darinya. Jelas membuatku gusar hampir gila. Elang Jeladri membuatku was-was, perbuatannya ini membuat pagi yang cerah ini menjadi pagi yang buruk. Mungkin akan menjadi hari yang panjang juga. Sepanjang hari betul-betul ponsel kupegang erat-erat. Sebenarnya ini apa yang sedang terjadi? Apa dia tak mau menghubungiku lagi? Apa bagaimana? Apa aku sudah tidak menarik lagi? Apa aku kurang cantik? Kerja otakku sudah berabe, hendak menyulut masalah kepercayaan diriku. Apa dia terlalu sibuk sampai lupa mengirimkan pesan?
Tapi aku sendiripun tak berani mengiriminya pesan yang bertubi-tubi sehingga menjadi sampah di ruang obrolan kita. Kulihat aktivitas di platform Instagram berharap menemukan yang ia lakukan, tapi nihil juga. Padahal aku hanya butuh satu saja hal yang menandakan bahwa dia masih hidup di dunia ini. Itu akan membuatku tenang barang sebentar meskipun nantinya akan khawatir lagi karena dia belum mengirim pesan khusus untukku.
Ada saran dari kawan-kawanku agar aku mengalihkan perhatian untuk melakuman aktivitas lain. Basi. Aku tidak bisa begitu. Ini yang membuatku malas punya hubungan, pada akhirnya aku akan ketergantungan olehnya seakan-akan seumur hidupku sudah bersama dengannya. Padahal hanya baru beberapa bulan lalu kami ada hubungan yang cukup dekat.
Malam harinya, aku berusaha menenggelamkan kepalaku pada bantal berharap bisa menghirup sisa-sisa wangi tubuhnya yang tertinggal beberapa hari lalu. Mencari wangi citrus dan sabun mandi, tapi sudah berpendar diruangan ini. Aku persis orang sakau. Merengek sendirian lalu diam lalu merengek lagi lalu diam lagi.

TingTong                                                                

Notifikasi ponselku nyala menghenyakkanku yang merengek tak jelas. Kuharap kali ini benar-benar Elang Jeladri yang hampir menjadi kesayanganku walau dia mungkin tak sayang padaku. Aku meraih ponsel dan yup! Betul saja, Yang Mulia Elang Jeladri Muncul di notifikasiku. Lalu aku pura-pura cuek dan baik-baik saja dengan menunda untuk membalas pesannya sekitar dua puluh menit. Hebat bukan?
...
"Maaf baru ngabarin huhu" Katanya singkat ditambahkan kata 'huhu' seakan-akan ia sedih.
"Haha iya gak apa-apa" aku memang tidak apa-apa aku hanya menunggu daritadi, dari kemarin. Aku jagonya untuk berpura-pura.
"Ponselku tertinggal di kontrakan teman, semalam main Dota bareng, pas pulang lupa bawa ponsel" dia berusaha menjelaskan duduk perkara kali ini. Main Dota adalah suatu kewajibannya tiap malam apalagi ketika sama-sama dengan temannya. Hal itu membuatku menyarankannya agar dia ikutan turnamen Dota, itu lebih baik untuk mengasah kemampuan bermain game-nya.
"Untung gak ketinggalan di laci lab kampus lagi". Kebiasaan, dia suka tidak peduli dengan ponselnya sendiri. Ya! Dia pernah meninggalkan ponselnya selama berhari-hari di labolatorium kampusnya. Dia mencium bebauan rasa kekesalanku padanya.
"Tidur,  ini sudah tengah malam kamu besok ada kelas"
Yang benar saja! Aku menunggunya dari kemarin sampai beberapa menit lalu hanya untuk disuruh tidur? Hatiku melilit bertambah kesal.
"Aku belum ngantuk" aku membalasnnya singkat. Aku benar-benar kesal kali ini atas kejahatannya hari ini.
"Bilang saja rindu" dia menggodaku.
"Ya sudah aku tidur" aku menyembunyikan seringaianku meski kalaupun aku menyeringai ia takkan tau. Tapi aku kesal. Tanganku menarik selimut agar menutup tubuhku rapat-rapat.
"Dih ngambek hahaha" dia menggodaku lagi.
"Sudah tau aku nunggu kamu dari pagi, kamu muncul buat suruh aku tidur?" Cih Elang Jeladri bilang saja kalau tak mau kita mengobrol.
"Ya tapi kalau kamu lagi gak mau ngobrol sih ya aku tidur sih"
"Kamu tuh kalau kangen gak pernah bilang!" Dia memprotesku balik.
" Ya gak perlu bilang, aku gini pun apa kalau bukan nungguin kamu?"
Lalu dia berusaha meredam kekesalanku. "Uu, cini cini peluk, jangan ngambek dong"
Aku bergidik membaca pesannya, jijik tapi buatku tersenyum lagi. Aku tak bisa kesal lama-lama lagipula orangnya sudah hubungi aku, itu sudah cukup menghilangkan kekhawatiranku sejak pagi. Lalu ia bercerita apa yang dilakukannya hari ini.
"Malam kemarin aku kerjakan laporan, sekarang laporan sudah 70% rampung lalu main bareng sama teman-teman"
"Sekarang kok gak main? Tumben banget"
"Gak ah libur dulu, kasihan ada yang nungguin dari pagi"
...
Elang Jeladri ini paling jago kalau urusan strategi perang sepertinya. Perilakunya sungguh tidak mudah ditebak-tebak. Kadang buat pipiku panas atau bahkan tak enak tidur. Setidaknya malam ini aku tak perlu khawatirkan apa-apa, ia telah menghubungiku walau aku tahu ini akan berakhir. Kami payah berkomunikasi dalam ruang obrolan. Lagi, Elang Jeladri paling anti menelepon dan aku anti menerima telepon. Berada disampingnya merupakan hal teraman untukku, aku tahu dia ada tak ada percakapan pun tidak apa-apa.
Tapi malam ini ia belum memberi keputusan apa-apa untuk bertemu, mungkin masih banyak yang harus ia kerjakan ketimbang bertemu aku.
Sial. Aku mulai menuntut walau tidak diucapkan.

Sambil menunggu balasan pikiranku mulai melayang menyambangi beberapa kemungkinan, yang paling dalam adalah munculnya pertanyaan tentang --Bagaimana jika Elang benar-benar pergi-- atau tentang Elang yang akan sulit kutemui nantinya. Karena sebenarnya, aku tidak pernah benar-benar mengetahui pribadi yang satu ini. Kami berkelar dan bercanda, hampir tak ada obrolan yang terlalu dalam atau sekedar mengkaji suatu peristiwa. Hampir tidak pernah, hanya pernah sekali saat ia menjelaskan Tsunami di Maluku beberapa abad yang lalu. Kami lebih sering banyak diam, aku takut jika terlalu dalam tak mampu mengimbanginya dalam suatu bahasan. Hanya saja, selera humorku satu frekuensi dengannya. Rasanya menyenangkan sekali tertawa bersama dalam satu tagline.

Water Under The BridgeWhere stories live. Discover now