Berry

8 0 0
                                    

Sudah dari pagi-pagi dia mengabariku kalau ia sudah dalam perjalanan pulang menuju Bandung. Katanya sekitar pukul dua siang dia memprediksi sudah sampai di Bandung. Tapi ternyata jalanan Jakarta kejam menahannya lebih lama. Untung saja hari ini aku benar-benar mengosongkan jadwalku karena aku tahu pada akhirnya dia tak pasti sampai di Bandung pukul berapa. Sebenarnya aku akan baik-baik saja jika kami bertemu lusa, aku tau dia pasti sangat lelah. Namun, sekitar pukul empat sore dia menghubungiku, “Aku sudah selesai membereskan alat-alat di kampus, sekarang aku mau pulang dan mandi dulu biar peluk-able, habis itu aku ke tempatmu ya?”.
“Kamu yakin mau ketempatku hari ini?” aku memastikan, tapi lama tak ada balasan.
“Aku sudah menuju tempatmu. Kamu mau dibawakan apa? Kamu sudah makan?” dia tak menghiraukan pertanyaanku.
“Pop corn mentah, belum” aku menjawabnya singkat
“Nanti kubawakan, Sepertinya kita tak akan keluar apakah tidak apa-apa? paling, kita akan cari makan sama-sama ya?” dia bertanya mungkin dia memang lelah tapi memaksakan.
“Ya!” aku menyetujuinya karena sepuluh hari ini kita tidak bertemu jadi ada perasaan yang sulit dijelaskan, jadi ya...
...

“Kusudah sampai Himeka, aku dibawah!” dia mengabariku sepertinya dia ingin aku menjemputnya dibawah.
Dia datang saat petang.  Awan berwarna nila kali ini sudah tak ada. Kulitnya yang sawo matang sekarang berubah menjadi coklat.  Aku tau itu karena matahari sengaja membakar kulitnya. Lagi, dia tak memakai sun block. Aku menghampirinya yang berdiri tegak mengendong tas ransel yang ia bawa kemana-mana. Melihat topi hitam tersangkut di kepalanya sedangkan parka hijau membalut tubuhnya.
"Mana ya orangnya?" aku terkikik berlaga tak melihat orang walau kita sudah beradu pandang sejak aku berjalan menghampirinya.
"Jahat banget"
"Hitam banget" aku puas tertawa.  "Sudah makan?" aku bertanya.
"Sudah tadi dirumah sebelum kesini"
"Makan apa?"
"Mie gelas"
"Ih kenapa sih mie gelas terus?"
"Malas masak,  mamah ga masak udahlah mie gelas aja yang gampang"
"Terus pakai nasi?"
"Iya,  mie gelasnya dua pakai nasi, di gelas kepenuhan jadi pakai mangkok" Aku memutar kedua bola mataku. “Apa kamu mau makan sekarang?” dia bertanya dan aku menggelengkan kepala karena memang belum lapar. “Nanti kalau lapar bilang ya?” lalu aku menganggukan kepala sedang tangannya mengusap-usap kecil ubun-ubunku. Pada akhirnya langkah kaki kani bergantian menaiki anak tangga. “Kita nonton horror aja yuk? Aku ada film horror yang belum ditonton” aku menyetujuinya.
“Aku mau buat pop corn” aku mengungkapkan keinginanku.
“Iya aku bawa pop corn rasa keju untuk kamu” aku dan dia saling berbalas senyum.
“Tapi aku baru pertama kali buat pop corn sendiri, gak apa-apa ya kalau gagal? Aku tertawa.
“Pakai apa buatnya? Kamu ada kompor ?” dia bertanya
Kepalaku menggeleng, “Kita akan masak mereka pakai ricecooker”
“Patut dicoba itu!” Tampaknya dia antusisas.
Aku membukakan pintu lalu kami masuk. Dia membuka topi lalu melepaskan ransel dan parkanya ia simpan di sudut ruangan. Aku sibuk mencari wadah penanak nasi, dia membuka ransel mengeluarkan pop corn dan laptopnya. Lalu dia memberikannya padaku keresek putih. Aku benar-benar bingung bagaimana cara membuat pop corn.  Dia membaca petunjuk cara memasaknya tapi itu dimasukkan mesin pemanggang. Tanpa berpikir panjang aku memanaskan wadah stainless steel di dalam rice cooker dengan mengganjal tombol dengan gulungan tisu agar tetap di kondisi memasak. Gulungan tisunya kurang lalu dia membantuku menambahkan tisu lagi. Tanpa sadar kita cekikan dengan apa yang sedang dilakukan. Aku membuka bungkus popcorn pertama plastiknya lalu kedua kertas yang sudah bercampur dengan bumbu. Aku membukanya lalu menumpahkan popcorn ke dalam ricecooker yang belum panas.
Kedua tangannya  dengan cekatan menggulung lengan panjang baju yang kupakai yang tak kusadari hampir terkena bumbu. Sementara aku sibuk masih berusaha menumpahkan butiran jagung kering yang masih menyangkut lengket karena bumbunya. Aku menutup ricecooker rapat-rapat. Lalu kami harap-harap cemas menunggu suara gemeletuk pop corn usai. Bau popcorn mulai menyeruak memenuhi ruanganku dan sangat menggiurkan. Yang aku tahu mulai saat itu aku terobsesi dengan wangi pop corn yang bercampur dengan pewangi pakaian Rapika Green Meadow yang tersisa ketika siang tadi aku menyetrika pakaianku.
“Ih ada yang gosong, gagal!” aku menggerutu saat membuka tutup penanak nasi.
“Tidak apa-apa, masih banyak yang berhasil itu” katanya menenangkanku meliha pop corn yang masih putih seperti gabus. Kedua tanganku mengangkat wadah penanak nasi untuk menaburkan isinya kedalam mangkuk
“Baunya wangi, pasti enak kok!” Tangan kanannya  memungut pop corn yang offside dari mangkuk lalu mengunyahnya. Dia menyalakan laptopnya dan memulai film horror. Sebenarnya aku tak tahu film itu menceritakan apa, aku terlalu sibuk mengunyah pop corn diapun sama. Sesekali kami mencoba jagung yang hitam rasanya benar-benar pahit seperti arang tapi gurih. Rasa yang patut dicoba. Sampai pop corn putih habis yang tersisa berbutir-butir yang hitam.
Aku bersandar di tempat tidurku yang setinggi tulang kering mengusap-usap perutku yang keenakan makan pop corn. Tidak ada suasana mencekam saat kami nonton. Aku benar-benar tak mengerti jalan ceritanya. Sejenak aku diam dia bersandar disampingku, tiba-tiba tangannnya mendekap pinggangku, kepalanya berada diantara perut dan lenganku yang mengapit. Perasaan tak karuan itu menyerbuku lagi melihatnya memeluku seperti anak kecil. Aku hanya bisa menelan ludah yang masih asin rasa keju karena belum minum. Aku benar-benar bingung melihatnya dan tidaktahu harus melakukan apa. Ini pertama kalinya ada lelaki yang berani memelukku seperti ini. Ada rasa risih namun aku tak berusaha melepaskan dekapannya. Aku hanya mematung, “Kamu kenapa Kak?” aku bertanya padanya terbata-bata.
“Sepertinya aku rindu kamu” dia tak kunjung melepaskanku. Aku tersenyum namun cemas. Tangan kananku kini bergerak menyelinap kesela-sela rambutnya, perlahan-lahan aku usap-usap ubun-ubunnya. Beberapa kali dia bicara padaku, dia lelaki berumur 24 tahun yang terkadang usia mentalnya berumur 7 tahun. Wangi citrus dari sabun yang ia pakai bercampur dengan bau bakau lalu wangi shampoo di rambutnya tercium tajam di hidungku. Entah berapa lama dia memelukku seperti itu, yang jelas lama kelamaan kakinya meringkuk sedangkan tubuhnya bersandar pada tubuhku tanpa melepaskan tangannya yang betaut di pinggangku kepalanya semakin lama semakin merosot hingga beralaskan kedua pahaku. Aku hanya memainkan rambutnya sesekali mengusapnya. Matanya terpejam aku tidak tahu apakah dia benar-benar tertidur atau hanya mengistirahatkan matanya sejenak. Atau dia mungkin sama kebingungannya seperti aku jadi dia menutup kedua matanya. “Tidurlah kalau kamu lelah” kataku padanya.
“Bangunkan aku pukul delapan, kamu belum makan nasi” dia menanggapiku.
“Sebentar daripada aku nonton horror sendiri mending kita dengarkan lagu saja!”
“Cari saja lagunya di laptopku” dia bicara lagi tanpa merubah posisinya.
“Baiklah” aku menjawabnya. Sepertinya mulai saat ini aku senang tanganku bermain-main di rambutnya.

"Kamu gak perlu bawa jaket,  pakai parkaku aja" dia mencegahku membawa jaket di gantungan. Lalu dia meraih parka dan memberikannya padaku.
"Coba pakai", aku memasukan tanganku kedalam parka hijau tua itu.  Dia tertawa lepas melihatku pakai parka kedodoran.
"Pakai jaket itu yang betul!" katanya sembari kedua tangannya sibuk merapikan parka yang aku pakai mempertemukan kancing dengan lubang kancing.
"Aku mau susu indomilk rasa pisang,  aku belum coba"
"Ayo kita cari!"
Kita mencari minimarket terdekat tapi cukup jauh kalau jalan kaki jadinya pakai kendaraan. Pandangannya fokus kearah jalan.
"Tau gak?" kata dia mulai bercerita.
"Apa?" aku bertanya dan melihat kearahnya.
"Si mamah kalau nyuruh aku beli susu bilang gimana coba?"
"Tolong belikan susu indomilek" dia mencontohkan suara ibunya dengan penyebutan indomilek yang diperkental. Aku tertawa melihat tingkahnya.
"Coba kamu bilang indomilek coba"
"Ih buat apa?" aku mendelik padanya
"Cepat ucapkan"
"Indomilek" kataku, "terus? " aku bertanya.
"Udah" katanya dia mengalihkan pandangan dari jalan ke arahku aku mengernyitkan dahi. Manusia langka.
Jalanan masih cukup ramai pukul delapan malam ditambah ini Sabat malam. Entah sudah berapa kendaraan yang melewati kita. Tanganku digenggam olehnya disisi kiriku untuk menyebrang. Ketika sampai tepat di tengah jalan dia beralih mengalihkanku ke kanannya, tanganku masih saja digenggam olehnya. Sampai pada bahu jalan kamu beralih lagi disisi kiriku berjalan mencapai tempat makan yang dia mau.
“Kenapa sih aku di pindah-pindah gini?” mulutku bertanya sekaligus bergumam penasaran, “Aku kan bisa nyebrang juga,” mulutku mengeluarkan kalimat lagi.
“Bukan masalah kamu bisa atau enggak, semua orang bisa nyebrang. Tapi gak semua pengendara itu hati-hati jadi bahaya bisa ketabrak jadi biar aku yang ketabrak duluan. Anggap aja semua pengendara bodoh,” dia menjawab dan aku hanya bisa diam sedangkan hatiku menghangat sambil berjalan. Aku tak terlalu suka di begini tapi aku tidak mampu menolaknya. Kami menguntai langkah menuju took swalayan.
“Gudang garam magnum satu” aku memandanginya dari samping ketika tangankan menyodorkan satu kotak indomilk rasa pisang punyaku sekaligus berbicarapada kasir. Tiba-tiba tangannya meraih satu bungkus Yupi gummy bear lalu menggeletakkannya di meja kasir.
“Buat apa Yupi?” aku bertanya.
“Buat kamu biar anteng” kamu menjawab, “Aku merokok dulu sebentar, kamu makan Yupi ya!” dia melanjutkan kalimatnya.

Water Under The BridgeWhere stories live. Discover now