Hari Pertama :
"Kusudah berangkat ke Jakarta nih, selamat tidur Himeka, have a nice dream"
Pesan tertinggal didalam ruang obrolanku dengan Kak Elang sekitar pukul tiga pagi. Baru saja ponselku berbunyi lagi, dia mengirimkan foto ketika kapal kecilnya melanju ditengah lautan berhiaskan kabut tebal.
"Hati-hati, masih ada signal? Aku siap-siap dulu mau ke kampus" aku membalasnya.
"Masih ada signal, dipulau seribu kan banyak penduduk!" dia membalas lagi, notifikasinya muncur namun aku tak membukanya. Aku mengangkat tubuhku agar segera bersiap-siap ke kampus. Hari ini jadwalku penuh sampai sore. Syukurlah setidaknya aku akan mudah menerima kabar, kalau ia memang niat mengabariku.
Sebentar..
Kabar?
Tarik nafas, buang nafas. Menurutku bukan waktu yang tepat untuk menunggu-nunggu kabar dari seseorang. Seseorang bahkan yang baru-baru ini aku kenal. Em maksudku, beberapa bulan terakhir ini.
Sebentar,
Kurasa belum genap sebulan?
Pikiranku begitu berisik dan sibuk. Aku menurunkan punggungku kedepan sampai meja menopang tubuhku. Lihat sekarang, akhir-akhir ini aku sering melewatkan orang-orang yang sedang presentasi di depan membahas projectnya.
...
Hari Kedua:
Tidak begitu sibuk lelaki berumur seperempat abad itu masih sempat sesekali untuk saling balas pesan. Katanya iya akan penelitian di Pulau Tidung dan Pulau Harapan. Aku tidak tahu persis keadaan pulau itu, hanya saja katanya kedua pulau itu terbesar di Kepulauan seribu. Sesekali ia membahas alat-alat yang di pakai untuk penelitian. Aku tidak hafal istilahnya, yang kuingat hanya susunan katanya 'istilah' lalu ditambahkan graf berguna untuk mengukur kadar air dan mungkin mengukur kedalaman laut. Oke-oke sebaiknya kita enyah dari pembahasan alat-alat seorang oseanografer.
...
Hari Ketiga
Hari Keempat
Hari Kelima
...
Hari Keenam:"Berapa orang sih sebenarnya yang ikut survey kesana?"
Akhirnya aku penasaran dan merasa perlu menanyakan hal itu di hari ke enam. Aku sudah mengira pasti kebanyakan laki-laki, setidaknya begitu yang pernah ia ceritakan padaku saat membahas teman-teman kuliahnya nyaris tidak ada perempuan.
"Tiga belas orang sudah dengan bos, laki-laki semua" Kak Elang membalasnya. "Kami dimarahi warga tadi" teks berikutnya muncul.
"Kok bisa? Kenapa?" aku buru-buru menjawab.
"Berisik waktu nonton bola terdengar tetangga hahaha namanya juga laki-laki semua nonton bola"
Aku ikut terkikik membacanya. Entah apa yang membuatnya lucu padahal aku tahu bagi orang lain kalimat itu tidak terlalu mengandung unsur jenaka. Entah kenapa menguntit lelaki ini di Instagram selalu membuatku cekikikan. Kadang karena fotonya, kebanyakan karena aku dengan teliti membaca kolom komentar. Lain kali aku akan membahasnya tapi tidak untuk sekarang. Sebab, ada yang sedang menggangguku sekarang, aku ingin segera loncat ke hari sepuluh, disisi lain aku khawatir dia tidak pulang di hari kesepuluh. Pasalnya, hari ketujuh besok ini dia harus melanjutkan survey ke pulau berikutnya, Pulau Harapan. Pertanyaannya, apakah survey akan selesai dalam tiga hari berikutnya? Pertanyaan itu membuatku gusar namun aku tak berani mengungkapkan pada Kak Elang, aku takut pertanyaan itu akan mengganggu pekerjaannya tapi yang pasti dia akan ke GR-an.
...
Hari Ketujuh:Subuh-subuh dia mengirimiku pesan,
"Aku sedang dalam perjalanan ke Pulau Harapan"
Hanya pesan itu yang aku terima tentang dirinya yang pagi-pagi buta pamit untuk berlayar lagi.
"Baiklah, hati-hati semoga lancar berlayarnya Pak Kapiten"
...
Hari ketujuh ini aku memutuskan untuk bermalam di kost-kostan teman SMA-ku dulu yang kini sama-sama kuliah di Bandung. Aku sudah merasa bosan, pun sudah tidak ada jadwal perkuliahan lagi. Aku libur dan punya sisa tiga hari waktu senggang. Akhir pekanku mulus tak ada perkuliahan. Oke kondisi Narwastu nyaris sakau dan butuh teman saat ini. Benar-benar sudah tidak peduli dengan kondisi lingkungan sekitar, tak peduli dengan cuaca hari ini, tak peduli kondisi perjalanan yang kulaui, AKU-SUDAH-TIDAK-PEDULI. Aku hanya ingin buru-buru membunuh waktu tiga hati kedepan.
Yang kuingat di hari itu aku mengenakan celana jeans dan blouse, menyampirkan tas ransel berisi perangkat menginap di pundak kanan. Naik angkot dua kali dari tempatku turun di perempatan Dago kemudian naik lagi angkot menuju Jalan Tubagus Ismail. Akhir pekan, aku sudah pasrah kalau jalanan macet, lagi pula aku tidak cukup mampu untuk pesan ojek online, terlalu sayang uangku. Jadi, ya sudahlah hitung-hitung menghabiskan waktu. Untuk hatiku yang sedang gelisah gemelisir sepanjang jalan. Lebih dari setengah jalan yang kulalui merupakan jalan ke rumah Elang Jeladri, namun aku berhenti sebelum belokan rumahnya. Kalau dari Tubagus Ismail mungkin satu sampai dua kilometer lagi. Berlebihan memang kalau hal seperti ini saja membuatku berdebar-debar. Tapi begitu adanya diriku memang sedang tidak beres.
"Jadi, apa yang sudah kamu lalui akhir-akhir ini?" April menanyakan kabarku. Aku cukup lama menunggu di bawah tadi untuk dibukakan pagar. Kini aku sudah naik ke lantai tiga dan sedang rebahan di kasur. Sudah lama aku tak bertemu April, kami sama-sama sibuk menjalani hidup namun tidak mengurangi keakraban diantara kami sedikit pun.
"Aku bertemu seseorang, bikin aku gak tenang akhir-akhir ini" aku mengungkapkan dengan hati-hati.
"Siapa? Kenapa kamu Narwa?"
"Akhir-akhir ini kami sering sama-sama, tapi sekarang dia sedang ada tugas"
"Dimana? Bagaimana orangnya?"
"Di Kepulauan Seribu dia meneliti keadaan laut. Sejauh ini baik, siapa tahu?"
"Kapan dia pulang? Kamu kangen ya sama dia?"
"Tiga hari lagi itupun kalau gak ada perpanjangan waktu"
"Jadi? Tampangmu berantakan sekali", aku tahu maksudnya April, bukan make up-ku tapi raut wajahku yang lusuh ini.
"Hari ini dia belum mengabariku lagi" aku sendiri tidak percaya akan mengeluhkan hal seperti itu.
"Dia mungkin sibuk" April menyahut.
"Mungkin gak ada signal", aku ikut membuat hipotesis.
Elang tidak ada kabar.
Elang yang sedang berlayar.
Dilaut biasanya tak ada signal.
Maka, Elang tak memberi kabar karena tak ada signal.
"Tunggu aja, tenang dia pasti pulang. Lagipula dia asli Bandung bukan?"
"Betul"
....
"Himeka, dilaut hujan deras tadi ada badai"
Akhirnya pemberitahuanku menyala dan menampilkan potongan pesannya.
Aku buru-buru membukanya,
"Terus gimana? Tapi semuanya baik-baik aja kan?"
"Baik-baik kok aku. Cuma baju semuanya basah. Makanya belum mengabari kamu lagi, ini sudah lumayan reda"
"Syukurlah, terus sekarang mendarat atau masih di tengah laut? Oh iya Kakak Elang, malam ini aku menginap di tempat temanku"
"Dilanjutkan, biar cepat beres dan cepat pulang. Sekarang lagi pada buat kopi biar hangat. Sungguh aku kedinginan Himeka"
"Lain kali siap sedia jas hujan. Hati-hati kapiten di lautnya"
"Kamu khawatir sama aku? Aku bawa jas hujan tapi kukasih pinjam bosku. Gak enak kalau gak dipinjamkan"
"Oh begitu baiklah, silahkan dilanjutkan pekerjaannya"
"Kebiasaan, kamu belum jawab pertanyaanku!"
"Yang mana?"
"Tolong di baca lagi sampai kamu menemukannya"
"Sedikit"
"Apa yang sedikit?"
"Khawatirnya, sana lanjut kerja!"
"Ihiw, tenang jangan khawatir gak baik buat kesehatan batin kamu.;) yasudah aku lanjut dulu bekerja ya!"
Percakapan berakhir begitu saja. Ada dua yang sedikit sekarang. Sedikit khawatir dan sedikit kesal."Senyum sendiri" aku terhenyak ketika April menepuk pundakku. Oke karena aku terpergok senyum sendiri. Jadi sekarang ada tiga yang sedikit. Sedikit khawatir, sedikit kesal, sedikit tersenyum.
"Liat dong kalian ngobrol apa?" kepalanya mengikuti layar ponselku yang berusaha aku halangi.
"Ih, sudah! Dia sudah melaut lagi!"
...
Hari Kedelapan:Hampir tengah malam kami baru berkomunikasi, memang pagi pun siang ia mengabariku apa yang dilakukan di hari kesembilan. Dia betul-betul sibuk dengan peneletiannya. Kesibukannya bukan masalah besar untukku tapi aku tak sengaja menunggu sehingga waktu lagi-lagi terasa panjang. Hampir tengah malam ia mengabariku bahwa ia baru saja menyelesaikan tugasnya.
"Sekarang aku sudah santai" katanya.
"Bagaimana hari ini lancar kapiten?"
"Lancar jaya, oh ya kalau aku pulang aku akan langsung mampir ke tempatmu"
"Langsung?"
"Ya, aku akan bereskan peralatan di kampus lalu langsung ke tempatmu."
"Kamu yakin? Kamu perlu istirahat, kita akan bertemu setelah kamu istirahat."
"Aku mau ketemu kamu langsung setelah aku pulang dari Jakarta!", Aku merasakan perubahan nada bicara menjadi lebih tegas pada pesannya.
"Kenapa? Kangen yah?" Mencoba mencairkan suasana agar tidak tegang.
"Sudah aku mau tidur! Kalau kamu gak mau bertemu ya kita tak akan bertemu"
Whoaa ini ada apa?
"Kita akan bertemu kapanpun kamu mau" aku menjelaskan maksudku.
"Sudahlah kita tidur"
"Kamu marah?"
"Tidak"
"Maafkan aku kalau aku dalah bicara, maaf" aku merasa bersalah menghalanginya untuk bertemu aku.
"Aku hanya khawatir kalau kamu terlalu capek kamu akan sakit" aku melanjutkan pesan singkatku.
"Ya" dia membalasku singkat.
"Masih marah?"
"Kita tidur saja daripada terus salah paham, aku sedang capek, dan kamu butuh tidur"
"Aku gak bisa tidur sebelum memastikan kamu baik-baik saja dan gak marah padaku" aku menahannya.
"Maafkan aku, akupun salah terlalu menekanmu, aku hanya ingin bertemu"
"It's okay, akupun ingin bertemu"
Aku mencoba terbuka dengan perasaanku padanya lalu kami sama-sama memejamkan mata. Diakhir pertengkaran pertama kami saat itu.
...
Hari Kesembilan:"Nanti aku pulang, kita makan malam lucu yak!"
"Hah? Bukannya setiap bertemu kita makan sama-sama?"
"Beda itu, ini kan makan malam"
"Coba ajak aku yang betul coba? "
"Maukah kamu pergi makan malam denganku setelah aku pulang bekerja?"
"Dipikir-pikir dulu ya!"
"Jawab dong mau atau enggak? Kalau gak mau ya sudah aku makan malam sama perempuan tercantik di dunia"
"Ih! Aku mau! Malah kayak begitu"
"Ibu Negara, ngambek?" terkadang kami menyebut ibu dengan sebutan ibu Negara atau nyonya besar.
...
Hari Kesepuluh
"Pulanglah dulu bawa jaket dan makan dulu, disana dingin" katanya dalam ruang obrolan. Aku melakukan yang dia sarankan. Aku harus mengerjakan tugasku di kampus sampai tengah malam.
"Semangat kutemani dari jauh dulu ya, besok kita bertemu!" katanya sambil mengirimkan foto dirinya sambil mengupil. Aku tergelak melihatnya. Manusia langka yang jelek.
YOU ARE READING
Water Under The Bridge
عاطفيةIs because right thumb swipe. Bandung fulfilled my peculiar life.