Spruce

2 1 0
                                    

Seminggu dari kepulangannya itu kami baru memutuskan untuk bertemu. Akhirnya ia mampu merampungkan tugasnya sampai selesai. Sebelumnya ia berjanji padaku jika pekerjaannya sudah selesai maka kami dapat habiskan waktu bersama.

"Kamu sudah makan?"
"Gak enak"
"Ini aku bawakan, aku tau kamu belum makan"
Aku membuka makanan isinya nasi dan sup ayam "Nasinya setengah?"
"Iya setengah" katanya
"Gimana sekarang badan kamu?"
"Masih gak enak,  ngilu di tulang masih ada,  kenapa?"
"Tadinya mau aku ajak main kalau sudah sehat,  tapi kayaknya gak sekarang"
"Ih aku mau main"
"Jangan harap,  makan dulu!"
Aku makan.
"Sudah kenyang" aku menghentikan makanku.
"Habiskan!" dia memerintahku karena makanan masih menyisa.
"Gak mau kenyang!" aku ngotot.
"Tau gak? Itu tuh nasi udah setengah porsi terus kamu habis cuma setengahnya.  Jadi,  kamu makan cuma seperempat" dia mencoba membujukku.  Sejenak aku hanya memandang matanya diam sekaligus berpikir. Ada benarnya juga. Aku raih sendok dan menjejalkan nasi serta lauknya kedalam mulut sampai tuntas.
"Sudah habis" kataku
"Sudah? Bagus" katanya,  aku mengangguk.  Dia memunguti nasi yang tercecer dikasurku lalu memasukannya ke keresek sampah merapikan bekas makanku,  dan membersihkan piring kotor yang telah kupakai. Aku hanya memandanginya yang sedang membereskan semuanya sambil duduk sila di tempat tidur.
"Kenapa?" dia bertanya.
"Enggak" aku jawab. Manusia langka kataku dalam hati.

"Kemarin temanku ada yang ngambek,  padahal dia sendiri yang kepo,  dia sendiri yang ngambek," dia menyindirku.
"Apa?  Aku kemarin gak ngambek aku cuma mau tidur aja"
"Kan aku bilang temanku,  bukan kamu. Terus ngelike posting quotes gitu yang isinya hidup itu mengalir kaya sungai,  tapi ada aja tai yang lewat"
"Dih emang itu buat kamu? Bukan" aku bertanya tapi kujawab sendiri,  aku mendelik sebal padanya. Jelas-jelas dia menyindir.
Dia tertawa keras mengolokku seperti anak kecil, "Aku bilang temanku, bukan kamu"
Dia menjelaskan sambil tertawa.
"Kalau bukan teman kamu, aku ini siapanya kamu?" aku bertanya padanya dengan nada sebal.
Dia diam. Diam. Kita diam.
Keheningan kami terhenti saat ia meraih cermin kecil yang tergeletak di tempat tidurku. Ia membukanya lalu ia memerhatikan dirinya pada pantulan cermin.
“Hiiii item” aku bergidig meledek
"Buladig gini juga banyak yang suka" lagi lagi dia pongah
"HIH" aku meringis makin bergidig
"Kamu juga suka aku cuma belum sadar aja" dia bersandar pada dinding sambil memejamkan mata
Aku berlalu pergi.
...

Sebenarnya aku hanya pergi ke kamar mandi berniat buang air sekaligus merenung perilakunya barusan. Sejenak mengutuk diri bisa-bisanya impusif berbicara seperti itu. Mengambil nafas sejenak, aku membersihkan diri dan segera keluar. Baru selangkah dari kamar mandi aku melihatnya diam dengan tatapan kosong bersandar pada dinding tempat tidur. Aku berjalan kearahnya lalu menaiki tempat tidur memilih samping kanannya untuk duduk. Bersandar miring pada pundaknya, aku cukup percaya diri karena tadi pagi aku mandi jadi tidak perlu khawatir aroma tubuhku mengganggu. Tangannya menyelusup dibelakang punggungku lalu merangkulku sambil duduk, tangan kananku melewati perutnya terkail di pinggangnya.
“Badanmu masih terasa sakit?” Elang bertanya lirih terasa pipinya bergerak-gerak di kepalaku Ketika ia berbicara. Aku menggeleng.
“Tinggal lemas dan sakit perut menstruasi” aku menjelaskan kondisiku.
Tangannya refleks mengusap-usap lembut perutku membuat tanganku yang terkail terlepas dari pinggangnya. Cukup lama kami saling diam hening bersama-sama yang bergerak hanya tangannya yang mengusap. Semakin lama diam, semakin perasaanku tak karuan rasanya semakin takut semuanya akan berakhir, aku khawatir.
“Nonton film yuk? Apa aja biar ga hening-hening amat” ujarku padanya.
“Boleh” ia mulai bergerak merangkak meraih tas punggungnya kemudian mengeluarkan laptopnya. Sedangkan aku meraih bantal dan berbaring kesamping dan meringkuk. Elang menyimpan laptopnya yang mulai memutarkan film di hadapanku lalu ia menyelinap ikut berbaring dibelakangku lalu mendekapku. Film dengan pemeran utama Leonardo di Caprio sedang berusaha bertahan hidup berdurasi tiga jam membuatku mulai bosan pada bagian dua pertiga fim itu. Aku mengubah posisi tidurku berbalik kehadapannya. Elang membuka badannya agar aku bisa menyelinap di dadanya. Terasa bibirnya beberapa kali mengecup ubun-ubunku. Bulir air dari sudut mata menetes menyerap menembus kaos yang dipakainya, aku begitu khawatir semua akan berakhir. Tanganku memeluknya memberi isyarat aku cukup nyaman dengan kondisi seperti ini. Aku aman dan nyaman seperti prinsip sarana prasarana.
Kepalanya turun sejajar dengan kepalaku tangannya menuju wajahku mencapitkan telunjuk dan ibu jarinya pada cuping hidungku kemudian kecupan dipipi mendarat berulang-ulang membuatku terkikik geli sekaligus megap-megap sulit nafas. Tanganku menepuk-nepuk tangannya yang ada dihidungku, “Sakit Kakak!”. Dia ikut terkikik lalu melepaskannya. Sialan pipiku!
Pada akhirnya kami sama-sama terlentang menghadap kelangit-angit warna putih. Aku mencoba mencerna apa yang telah terjadi. Sementara film yang sudah berenti kami tonton daritadi masih berbicara sendiri.
“Ya sudah ini sudah tengah malam, aku pulang ya?” Elang Jeladri itu memecah keheningan. Aku menatapnya sedih.
“Jangan sekarang” bujukku.
“Sudah tengah malam, kamu harus istirahat!”
“Tapikan..” aku merajuk.
“Ini sudah tengah malam, kalau aku disini terus kita susah tidur nantinya”  dia bangun dari tempat tidur dan duduk. Aku diam memperhatikannya mematikan laptop kemudian dibungkus oleh tas punggungnya itu. Lalu bergeas menuju pintu, aku bangkit menmbuntutinya dengan rupa masam.
Kami terdiam mencoba mencerna perkataannya, lalu kitasama-sama tertawa.
"Aku pulang ya?" dia berpamitan di pintu.
"Iya" jawabku singkat,  sekarang aku tak senang kalau dia pergi. Dia memeluk leherku, aku hanya diam kepalaku menyentuh dadanya terasa ubun-ubunku dikecup olehnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 19, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Water Under The BridgeWhere stories live. Discover now