BAB 6 (Surprise)

38.7K 4.1K 468
                                    


Reuben Sinaga.

Nama yang sudah kurang lebih 4 tahun ini terhapus secara perlahan-lahan dari benakku. Tidak mudah memang karena apa yang kami jalin di masa lampau bukan hal yang main-main. Aku sudah bertunangan dengannya, sudah mempersiapkan segala tetek bengek pernikahan yang hampir 70% rampung namun tiba-tiba semuanya hancur pada satu malam tanpa memberi firasat sedikitpun sebelumnya.

Kami baik-baik saja sebelum tulisan tanganku pada sebuah buku catatan mengubah kemantapan hatinya untuk mengarungi hidup bersamaku. Tulisan tangan yang sebenarnya sudah kutulis sebelum aku bertemu dengannya. Ialah tentang mas Adit. Tentang rinduku yang tidak pernah tersampaikan.

Ben terlalu gegabah dengan keputusannya. Sejujurnya, segala hal yang ada pada kami terlalu cocok dan klik satu sama lain. Sifatku dan sifatnya, prinsipku dan prinsipnya, apa yang aku inginkan selalu dia tahu tanpa aku harus memberitahunya, begitu juga sebaliknya. Sepertinya kami memiliki sinyal khusus yang membuat kami saling mengerti tanpa harus meminta.

Tapi seperti kata pepatah "if it's good to be true, it mostly not true". Aku dan Ben terlalu sempurna untuk menjalin sebuah hubungan. Kami tidak pernah bertengkar atau sedikitpun berselisih paham, tidak ada gejolak apapun yang aku rasakan selama berpacaran dengannya, bahkan perihal perbedaan keyakinanpun bukan menjadi penghalang. Aku menghargai agamanya sebagai seorang katolik, begitupun dia menghargaiku sebagai seorang muslim.

Tiket menuju Singapura sudah kami persiapkan, tidak hanya untukku tapi juga untuk keluarga kami. Rencananya kami akan menikah disana karena di Indonesia pernikahan beda agama masih menjadi kontroversi. Perpaduan adat Jawa dan Batak sudah kami bayangkan akan menghiasi pernikahan kami.

Indah, indah sekali. Terlalu indah sampai aku sebegitu hancurnya saat dia mengucapkan 'selamat tinggal' padaku.

"Bu, maaf, pesawatnya sudah mendarat. Ada yang bisa saya bantu?"

Lamunanku buyar seketika. Aku menoleh dan mendapati seorang pramugari tersenyum ramah padaku. "Oh, sudah mendarat ya?"

Senyum pramugari itu semakin melebar. "Sudah dari 30 menit yang lalu,"

Aku baru menyadari bahwa seluruh penumpang di pesawat ini sudah turun dan tinggal aku seorang. Bodoh! Ini gara-gara aku memikirkan Ben sepanjang perjalanan.

Aku buru-buru menurunkan koperku yang tersimpan di bagasi kabin, memberi seulas senyum pada sang pramugari, lalu melengos pergi keluar dari pesawat ini.

Sekarang bagaimana ya rupanya? Apakah masih sama seperti yang dulu?

Setelah menikah dengan mas Adit, aku tidak pernah sekalipun kepo dengan kehidupan Ben. Aku menghargai mas Adit sebagai suamiku. Seluruh perasaankupun juga sudah beralih pada mas Adit. Lalu untuk apa aku khawatir?

Kepalaku celingak-celinguk mencari sosok Ben diantara kerumunan orang yang berdiri di depan pintu keluar bandara. Karena tingginya yang mencapai 180 cm, tanpa perlu waktu lama, aku menemukannya sedang berdiri diantara orang-orang tersebut membawa sebuah kertas bertuliskan 'Mrs. Adit'.

Canggung. Begitulah yang kurasakan. Tanpa terasa kecanggungan itu berefek pada senyumku. "H—Hai,"

Ben membalas senyumku. "Hai, Dit. Apa kabar?"

"B—Baik,"

"Langsung aja yuk! Saya antar ke hotel, setelah itu kamu harus bersiap ke gedung TV8,"

Wait? Sa—Saya? Dia bilang 'saya'? Oke, sepertinya dia juga sudah bisa melupakanku.

"Memang acaranya jam berapa?"

Internal Love 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang