Dulu sebelum menikah, aku mengenal sosok seorang dokter Aditya Nagendra sebagai sosok yang galak, keras kepala, dan kadang suka berkelakuan semena-mena. Wajahnya yang tanpa ekspresi, kalau senyumpun hanya tertangkap satu detik, serta jarang sekali meminta bantuan orang lain alias sangat mandiri.
Tapi, menikah telah merubah semuanya.
Dokter yang umurnya sedang dalam perjalanan menuju angka empat itu mendadak berubah menjadi bayi yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Seperti saat ini, manjanya kumat. Sangking malasnya bergerak karena masih ngantuk tapi sudah kadung janji akan menuruti semua kemauanku, dia sampai memaksaku memakaikannya baju untuk pergi.
"Kamu ini kalau lagi di Jakarta pasti kelakuannya nggak kayak gini," kataku sembari memakaikannya kemeja bahan denim yang membalut kaos oblong warna putihnya.
Mas Adit yang sedang duduk malas di tepi kasur mendongakkan kepalanya memandangku dengan wajah datar. "Ya. Semuanya dikerjakan sendiri,"
"Kalau gitu kenapa kalau disini jadi kayak anak kecil lagi sih? Baju aja harus dipakaiin,"
"Kan ada kamu,"
"Emangnya aku baby sitter!"
"Lebih dari itu," Lalu tiba-tiba kepalanya nemplok di perutku dan kedua tangannya merangkul pahaku.
Sontak aku jadi geli melihat kelakuannya. Apalagi ditambah keisengannya ndusel-ndusel di perutku. "Ih, apaan sih, Mas! Geli banget!" Tanganku pun mendorong-dorong tubuhnya sangking kegelian.
Sampai akhirnya tubuhku goyah dan jatuh menimpa tubuh mas Adit. Posisi kami mirip 'sandwich' sekarang, saling menumpuk dengan wajah kami saling berhadapan.
Tiba-tiba aku jadi merasa de javu.
Dulu sekali, kami pernah tiba-tiba berada di posisi ini untuk pertama kalinya. Masih teringat kala itu kami sedang berada di pantai pelangi. Ombak membuat kami terpaksa di posisi ini padahal masih belum muhrim.
Dan apa yang kurasa belum berubah. Masih terasa deg-degannya.
"Dit," ucap mas Adit membuyarkan lamunanku.
"Ya,"
"Kamu tahu, kan, kalau aku sayang kamu?"
Duh, Mas, mau apalagi sih ini? Aku paling nggak kuat kalau mas Adit berusaha untuk romantis. Kadang berhasil, tapi kebanyakan gagalnya sih dan malah membuat aku tertawa geli.
"Ya," jawabku sambil senyum-senyum padanya. Otakku sudah memikirkan berbagai macam hipotesis kira-kira apa yang akan dilakukan mas Adit setelahnya. Menciumku, memelukku, atau...
"Tapi kamu berat, Dit. Bisa bangun nggak?"
JGERRR!!!
Bayangan romantis-romantisan pun lenyap dalam sekejap. Senyumku pun langsung pudar.
Jleb banget, Mas! Sakit hati Dedek...
Aku lantas bangkit dari posisi 'sandwich' itu dan memasang ekspresi kecut.
Emang dasar lelaki nggak peka! Padahal posisinya udah bagus itu buat romantis-romantisan. "Nyebelin!" semprotku sambil monyong 3 cm.
"Loh, kok ngambek? Jadi mau pergi, kan?"
"Tau ah!"
***
Akhirnya kami jadi pergi walau aku masih gondok.
Coba pikir, hati perempuan mana yang nggak teriris dikatakan "berat" oleh pasangannya sendiri? Baru dibilang "berat" saja aku udah sebal, gimana kalau dia lebih jujur dengan bilang "Kamu gendutan,". Mungkin aku akan langsung mengutuknya jadi batu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Internal Love 2
Roman d'amour[Medical Content] Bagaimana jika seorang dokter menikah dengan yang seprofesi? Orang-orang menyebutnya keberuntungan, tapi kenyataannya adalah bencana. Internal Love 2 merupakan sequel dari Internal Love (Wajib baca yang pertama dulu!). Adit and Ad...