4.MONSTER BERWUJUD BARBIE

108 43 12
                                    

note :
'......' : mind
"...." : percakapan normal

****

Hari yang sungguh melelahkan, otak dan tubuhku terasa remuk. Setelah menjenguk Rara, aku bergegas pulang dan mengurung diri di kamar.

Sudah beberapa hari aku bolos ke kampus, kualihkan pandangan pada sebuah potret yang terpampang di dinding kamar, sebuah kilasan masa lalu tak bisa dicegah beputar dalam otakku.

.flashback on.

"Ayah hari ini nggak latihan?" Aku bertanya pada Ayah yang akhir-akhir ini bertambah sibuk.

"Ayah sibuk Arsya, kamu latihan sendiri saja, atau kamu mau ikut Ayah ke LAB?"
Ayah membalik pertanyaan serta menolehkan pandangan padaku.

"Ikut ... Arsya bosen di rumah sendirian!" Gadis itu mulai memajukan bibirnya lucu.

"Kan ada Bunda, Arsya ..."

"Bunda nggak asik!!" Dan dimulailah acara 'mari merengek' ala Arsya.

"Makanya cari cowok Arsya ... kamu udah gede gini, nikmatilah masa mudamu" Sang Ayah terkekeh geli dengan putri satu-satunya ini.

"Ayah berisik!!"
Aku masih setia manyun tidak perduli meski Ayah bilang aku seperti bebek, membuntuti Ayah sampai ke garasi lalu tanpa kata ikut naik ke dalam mobil.

Saat itu ... aku berumur 16 tahun dan masih kekanak-kanakan, bisa dibilang aku belum kenal cinta, karena semua cowok yang berusaha mendekat kuhajar sampai bonyok, dan yah ... begitulah meraka takut kepadaku kecuali Ayah tentunya.

Saat sampai di LAB tempat Ayah bekerja aku juga ikut turun. Ayah bekerja sebagai peneliti sel manusia, dan aku pernah mendengar Ayah membicarakan sesuatu tentang akan diadakannya pembuatan gen manusia berfisik super kuat, aku tak mengerti apapun waktu itu, yang ada di otakku adalah bagaiman cara mengalahkan Ayah di latihan selanjutnya.
Ayah adalah seorang master beladiri, bahkan peluru pistol pun dia hadapi dengan tangan kosong tanpa terluka sedikitpun.

* * *

Tiba-tiba alarm tanda bahaya di LAB berbunyi, aku panik! Bagaimana dengan Ayah? Ayah sedang berada di pusat LAB.
Aku berlari keluar dari ruangan pribadi di tempat kerja, berulang kali aku mendengar ledakan dari pusat LAB tempat ayah ber eksperimen, seketika otakku kosong, tanpa memikirkan apapun aku berlari ke sumber ledakan.

Langkahku terhenti saat sebuah pintu baja dengan tinggi tiga meter terpampang jelas di depan mata. Pintu yang menjadi batas antara LAB luar dan LAB pusat.
Aku seperti kehilangan otak dengan berusaha mendobrak pintu baja itu tanpa menggunakan alat.
Kaki dan tanganku mulai lecet dan sakit tapi pintu itu tak bergerak sama sekali.

"MINGGIR!!!!"

Teriakan seorang anak kecil dari arah belakang refleks membuatku aku menoleh. Dia seorang gadis kecil yang kemungkinan berusia 14 tahun, dengan fisual khas Indonesia dan mungkin keturunan korea. Gadis itu berlari kearahku dengan sebuah palu besar dalam genggamannya, melompat seolah terbang membuatku refleks untuk menghindar.
Bukan kaki yang mendarat terlebih dahulu di tanah tetapi palu yang langsung menghantam pintu baja sebagai titik tumpu pukulan dengan kaki yang belum menyentuh tanah. Asumsiku mengatakan jika palu tersebut lebih berat dari tubuh gadis itu.

Dan pintu baja itu tak bergerak sedikitpun.

Aku memikirkan berbagai rencana terbaik saat ini, disekelilingku hanya ada beberapa meja dan komputer.

Aku memilih merebut palu gadis kecil itu.
"Ukh!!! Berat!!"

Dan ketika titik tumpu terbeban pada kaki kiri, aku langsung menghantam pintu dengan palu dalam genggaman.

"BLAM!!!"

Tak terjadi apapun. Kesal! Akhirnya aku mengamuk, mebabi buta menghancurkan sang pintu baja, bunyi pukulan demi pukulan begitu nyaring, terdengar seperti alunan musik Drumband.

Dan ....

"BLAM!!!!" Pintu itu terpental kedalam pusat LAB diiringi asap mengepul yang langsung menyerbu keluar.

"......."

!!!

Aku terdiam saat tak pendapati satupun hal ganjil di pusat LAB, dan asap itu hanyalah asap yang keluar dari sistem ventilasi pintu, tak ada hal buruk yang terjadi di dalam pusat LAB malah akulah yang membuat hal buruk dengan menghancurkan pintu baja itu. Seisi LAB melihatku dengan wajah heran bercampur tak percaya termasuk Ayah yang hanya melongo tidak elit saat melihatku memegang palu dan bermandikan keringat.

.flashback off.

Sebuah senyum simpul tak bisa kucegah lolos dari bibir saat memori itu meluncur begitu saja. Itu adalah kenangan yang sangat memalukan di depan mendiang Ayah.

"ARSYA!! Kamu mau bolos kuliah lagi??"
Teriakan Ibunda tercinta dengan sukses membuyarkan lamunanku. Aku sedikit memajukan bibir, itu refleks jadi aku tidak bisa mengendalikannya.

"Iya Bunda!! Arsya mandi sebentar lagi!"

Kualihkan pandangan menuju jam dinding yang menunjukan pukul 11:00 WIB.

Ibu hanyalah Ibu rumah tangga biasa, bahkan ia tak tau apa yang kulakukan saat aku keluar rumah.
Aku menyayanginya dan tak pernah membantah sekalipun, aku menjadi gadis manis di rumah dan di depan Ibuku, tapi entah mengapa saat aku di luar aku menjadi gila, kuharap aku menemukan sosok calon suami yang bisa merubah sifatku yang suka berkelahi ini.

"Hufh, membosankan!!"
Berdecih sebal belum cukup untukku, ingin sekali melampiaskan kekesalan yang bertumpuk ini pada sesuatu agar bisa puas, dan tiba-tiba ingatan tentang kartu nama tempo hari saat kejadian pencopetan memberiku sebuah ide.

"Apa kabar denganmu pria tampan?"
"Kau tak kecopetan lagi dan mati tersungkur karena terpeleset kulit pisang saat mengejar copetnya kan?"
"Atau kau disambar gledek dan mati karena tidak memenuhi janjimu untuk menemuiku? Ok, lupakan. Itu terlalu berlebihan."

QUEEN of the WRESTLERS [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang