TUJUH

25 4 3
                                    

※※※

Janji adalah janji. Yang harus ditepati bukan diingkari. Namun, dikala seorang manusia merasa mustahil untuk menepati janji itu sendiri, Apa hukum janji harus ditepati itu juga berlaku pada kasus seperti ini?

※※※


Neva telah siap dengan mengenakan seragam putih abu abu nya dengan rapi. Ia berjalan cepat menuruni tangga rumahnya menuju dapur. Ia sedikit bersyukur karena ia tak harus menghadapi tingkah kebo Farrel pagi ini. Ia sendiri tak tau kemana makhluk astral yang satu itu saat ini.  Karena saat Neva mengecek kamarnya tadi, cowok itu sama sekali tak menampakkan batang hidungnya.

"Good morning! kakakku tersayang!" Dengan senyuman manisnya, Farrel menyapa kakaknya yang berjalan mendekati meja makan. Tangan kanannya memegang roti tawar yang baru saja ia isi dengan selai.

Gue nggak salah denger nih? Barusan dia panggil gue apa? Kakak? K-a-k-a-k? Pake tersayang pula?

Neva sangat heran dengan perubahan sikap juga gaya bahasa Farrel. Dia amnesia atau gimana? Namun, melihat tingkah aneh Farrel, perasaannya malah jadi tidak enak. Tak biasanya Farrel begini, apalagi ini masih pagi.

"Ayo sini nev." Mamanya ternyata juga duduk di samping Farrel.

Neva tak mau pikir panjang, ia menggeleng pelan lalu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi. Ia menggeret mundur kursi yang dari dulu selalu ia tempati ketika sarapan atau lebih tepatnya kursi yang berada di seberang Farrel.

"Nih, udah gue siapin roti coklat kesukaan kakak!" Lagi lagi Neva dibuat heran dengan Farrel yang nampak berselimut sejuta kebahagiaan pagi ini.

Dia habis jadian? Ah, masa Farrel jadian nggak minta ijin gue dulu sih?

Neva mengerutkan dahinya, ia mulai sedikit curiga. Atau ini semua hanya akal bulusnya? Dengan ragu Neva mengambil roti tawar yang disodorkan Farrel kepadanya. Mencoba berhenti menduga duga dan positif thinking kepada adiknya.

Neva menggigit roti itu, namun baru satu kunyahan, ia merasakan sesuatu yang aneh. Sedetik kemudian ia tersadar akan sesuatu.

"DASAR ADEK DURHAKA!!!!!!!!!!"

Yang diteriaki sudah ancang ancang berlari sambil tertawa terbahak bahak mengisyaratkan betapa puasnya dia saat ini karena telah berhasil menjebak singa betina masuk dalam perangkapnya.

※※※


Seorang cowok tampan terlihat tengah duduk sendirian di kursi makan yang selama setahun terakhir ini ia duduki setiap pagi. Tangan kanannya memegang sendok yang hanya mengaduk ngaduk nasi dalam piring di hadapannya. Ia duduk manis disini, namun pikirannya jauh melayang ke tempat lain.

Ujung bibirnya terangkat sedikit. Ia menyunggingkan bibirnya miris. Satu pertanyaan penuh makna terlintas di pikirannya.

Apa ini yang dinamakan sarapan?

Ia berdecih pelan, bayangan sarapan bersama, dimana ada ayah, bunda, dan saudaranya yang menambah kehangatan di pagi hari sebelum berangkat sekolah selalu menghantui pikirannya setiap sarapan. Sungguh, ia sangat merindukan saat saat seperti itu. Dan itu juga penyebab ia jarang makan di rumah dan lebih memilih untuk makan di luar. Tunggu, rumah? Apa bangunan ini pantas untuk disebut sebagai rumah? Mungkin orang lain akan menyebutnya rumah hanya karena bentuk luarnya saja, namun baginya tidak. Karena menurutnya, rumah adalah dimana ketika kita merasakan kehangatan, kenyamanan dan tempat dimana hati kita berlabuh ketika penat menyertai. Tapi ini? Orang saja tidak ada, apalagi kenyamanan?

ARNEVVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang