Hujan dan Daun-daun Gugur

103 4 0
                                    

      Hujan masih saja turun.

      Entah kenapa hujan selalu menarik di mataku. Ribuan rintik yg jatuh mengabut dan langit. Seperti perasaan haru Tuhan melihat sepasang kekasih yg saling tidak ingin melepaskan. Namun, tidak bisa tetap bersama.

      Aku duduk ditepi pantai. Dibawah hujan yg rinai, kau menemaniku. Kita menatap laut berdua. Ditengah laut, hujan seperti tidak menyisakan apa apa. Selain luapan kesedihan atas cinta yg sedang berduka.

      "Ini yg harus kita jalani...," ucapmu dengan suara yg nyaris tak bisa kudengar. Terlalu parau.

      Aku tau, semalam (mungkin berhati hari belakangan) kau menangis berlebihan. Kau tidak mau menerima kenyataan. Bahwa, orang tua terkadang lebih kejam daripada para pemerintah yg koruptor.

      Namun, seperti halnya pemerintah yg mungkin melakukan untuk kebaikan mereka sendiri. Orang tua pun berpikir sama. Kau dijodohkan dengan kenalan ayahmu. Lelaku yg lebih mapan dari diriku. Tentu lebih tua dari diriku. Demi kebaikan strata sosial keluargamu.

      "Tapi cinta harus diperjuangkan!" ucapmu, dan itu membuat suasana hatiku makin tidak terkendali.

      Aku benar benar sadar. Semua disebabkan oleh kesalahanku. Harusnya aku bisa menerima kekalahanku. Saat ibu dan ayahmu ingin menantu yg mapan. Sementara aku masih lelaki yg sedang berjuang. Bukankah memang seharusnya aku menerima saja kau dinikahi lelaki lain? Lelaki yg lebih mapan daripada aku?

      Bukankah setiap lelaki yg belum mapan sepertiku, akan dikalahkan oleh lelaki yg lebih mapan?

      "Cinta bukan perkara uang saja!" suaramu masih terdengar parau, meski tidak terlalu parau.

      "Namun, nyatanya orang tuamu ingin seperti itu."

      "Kenapa kau tidak meminta waktu kepadanya?"

      "Waktu?" aku menatap matamu yg semakin sendu. Ada kesedihan yg terlihat menumpuk disana. Sungguh, saat melihat matamu ada hal yg terpaksa lepas dari mataku. Perasaan yg masih sama dengan perasaanmu. Namun, aku sadar. Lelaki seharusnya memang terlihat lebih kuat dari perempuan. Meski pada kenyataannya, untuk urusan perasaan lelaki dan perempuan sebenarnya sama saja. Tak jarang laki laki jauh lebih rapuh.

      "Iya, kau bisa buktikan pada orang tuaku. Minta waktu pada mereka, satu atau dua tahun. Aku masih akan menunggu." Aku tau, kau masih ingin berjuang denganku. Menyatukan dua hati kita, seperti apa yg selalu kita impikan sejak lama.

      Aku terdiam. Berpikir. Apakah aku bisa memenuhi pintamu? Aku sadar diri. Aku hanyalah lelaki lemah. Meski aku tau tidak ada perempuan yg tidak ingin diperjuangkan. Sejak ayahku meninggal pada kecelakaan maut yg menimpa kedua orang tuaku. Aku mulai merasa putus asa. Kaulah yg membuat aku kembali merasa bahwa hidup ini masih berarti. Bahwa hidup masih harus dipertahankan. Meski ayahku sudah tidak ada lagi. Aku tetap masih berhak punya hidup dan impian yg lebih baik dan mendapatkan hatimu seutuhnya. Namun, status sosial kita yg berbeda ini menjadi tembok penghalang yg membuatku ketakutan.

      "Hidup ini kejam. Nak. Terkadang kita memang harus melepaskan apa yg tidak sanggup kita genggam, karena itu bisa merusak apa yg harusnya bahagia." Begitulah nasihat ibuku suatu hari.

      Tidak seperti apa yg aku alami saat ini. Aku hanya berjuang sendirian. Aku tidak punya siapa siapa untuk tempat mengadu. Impian impianku hancur. Aku harus berhenti kuliah di semester tiga. Pendidikan terasa amat mahal untuk orang yg kurang beruntung. Aku tidak punya uang lagi untuk biaya kuliah. Kini untuk urusan asmara pun aku terpaksa menabahkan hati. Kenyataan memang tidak selalu sesuai impian. Perempuan yg kucintai kini terancam dinikahi lelaki lain.

Satu Hari di Bulan OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang