Percakapan Tengah Malam

110 6 1
                                    


      Bukankah dinegara ini orang-orang lebih suka sok tau daripada mencari tau?

      Malam itu, percakapan kita seperti biasa kembali dimulai. Dan, seperti biasa pula, tidak akan ada habisnya. Kita tak pernah menemukan titik penyelesaiannya. Kau akan bersikeras dengan pendapatmu, terlebih juga aku. Namun, kita berdebat memang untuk itu. Kau lelah dengan pekerjaanmu sementara aku kadang jenuh dengan kuliahku. Kita butuh obrolan diluar kebiasaan yg kita lakukan. Itulah sebabnya, kita berdebat dan mempermasalahkan banyak hal. Bahkan hingga larut malam.

      "Lu gak kerja besok?"

      "Besok kan Minggu."

      Kalimat percakapan seperti itu selalu jadi penanda bahwa malam sudah terlalu larut. Sudah tidak selayaknya kita meperdebatkan hal hal yg bukan urusan kita ini. Namun, tidak seperti perempuan kebanyakan. Kau tidak akan membiarkan aku menutup obrolan. Kau mulai membahas topik baru. Itu artinya, percakapan kita akau berlanjut sampe subuh.

      Kau memesankan dua gelas minuman lagi.

      Aku selalu suka dengan caramu memandang sesuatu. Meski tidak semua pandanganmu aku setujui. Misalkan, menurutmu mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas kecarutmarutan bahasa yg digunakan sekarang. Tetapi menurutku, justru itu tugas mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia -yg harus menjadi contoh. Hal ini tidak pernah menemukan titik terang bagi kita. Kau bersikeras, akupun tidak ingin mengalah. Akan tetapi dengan hal lain, aku setuju denganmu. Misalkan, menurutmu mencintai harus memiliki. Aku setuju. Aku benci pada orang orang yg sok kuat. Orang orang yg bersembunyi dibalik kalimat "cinta tak harus memiliki".

      Kita sepakat, hanya orang orang cemen yg percaya dengan kalimat itu. Orang orang yg tidak mau memperjuangkan apa yg dicintainya. Atau orang orang yg sebenarnya tidak pernah benar benar mencintai. Kalau sudah membahas hal seperti ini, kita akan mengkaji lebih dalam. Bahkan kita sudah seperti dua orang mahasiswa akhir jurusan filsafat. Segala sesuatu yg kita bicarakan, kita ajukan dengan filosofi karangan kita masing masing.

      "Kalau cinta tak harus memiliki, kenapa kau harus mencintai?"

      Itu pertanyaan yg menjadi kekuatan kita untuk menyepakati bahwa mencintai berarti harus memiliki. Jika menyatakan tidak bisa memiliki, mulai saat itu kaupun harus berhenti mencintai. Jangan menjadikan cinta sesuatu yg salah. Sesuatu yg seolah menyakitimu. Kau dan aku sepakat, bahwa bukan cinta yg menyakiti manusia. Tetapi manusialah yg membiarkan dirinya menderita. Sebab, pada hakikatnya cinta adalah kebahagiaan. Kalau sudah sakit, luka, dan patah hati, itu artinya manusia tidak lagi sedang mengalami jatuh cinta. Melainkan lepas dari cinta.

      "Mereka orang orang yg membiarkan diri mereka terluka." Kau terkekeh.

      Aku ikut tersenyum. Kita selalu suka menertawakan hal hal yg kita anggap tidak seharusnya terjadi. Bukankah hal hal yg menurut kita konyol selalu bisa kita tertawakan? Apalagi hal yg menyangkut kebodohan orang lain. Untungnya, kita hanya menertawakan itu untuk diri kita berdua. Kau juga tidak sepakat, bahwa bahagia dengan menertawakan orang lain dengan orang banyak bukanlah sesuatu yg cerdas. Kau paling kesal, melihat beberapa di media sosial yg sering kelewatan.

      "Kita hidup dijaman payah, orang orang payah." Katamu, "bahkan tidak hanya pejabat, pemuka agama pun akan di-bully habis habisan oleh orang orang yg mengaku seleb di media sosial." Kau memang selalu kesal dengan hal itu. Menurutmu, terkadang mereka kelewatan. "Aku tidak suka dengan orang orang yg kadang bicara agama, seolah dia adalah orang yg alim, tetapi disaat lain, dia masih saja menulis dengan bahasa yg vulgar." Aku tau yg kau maksud. Kita memang sering membahas orang itu. Salah satu penulis buku yg bukunya kumpulan tulisan orang lain.

Satu Hari di Bulan OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang