satu

76 14 6
                                    

Rinai sendu hujan menemani derap langkahku disepanjang koridor. Aroma petrichor yang menguar bersama titik-titik air kini tak tercium lagi. Aku tersenyum sedang langkahku terus menapaki koridor yang kini sebagiannya licin. Bisa kuihat taman disebelah kananku yang basah. Siswa atau siswi yang biasanya bercengkerama di gazebo pinggir taman tak ada lagi. Koridor ini juga tak ramai seperti biasanya. Hanya kudapati seorang siswi--yang asik memainkan ponselnya--dan dua orang siswa--yang sepertinya sedang menunggu--duduk di bangku besi depan kelas.

Kulirik benda berwarna hitam dipergelangan tangan kiri. Jam 16.56. Baru saja aku ingin berbelok menuju parkiran, getaran cukup panjang dari benda pipih 5 inci di saku rokku menginterupsi. Segera kuraih dan melihat caller idnya.
'Ara'
Baru hendak aku angkat panggilan itu, satu nama muncul di notifikasi pesan masuk.
'Rius'
Seketika air mukaku berubah suram. Tatapan mataku datar. Tak kupedulikan lagi getaran ponselku. Aku melangkah menuju parkiran dengan napas memburu. Berusaha menyingkirkan bayangan wajah Rius yang mendadak menghantui pikiranku.

**

Deru motor matic merahku memenuhi halaman rumah. Seragam yang aku balut dengan kardigan abu kini basah. Gerimis masih membungkus kota ini. Segera aku masuk rumah dan mendapati sepi menyeruak disetiap ruangan bercat putih ini. Lengang. Selalu seperti ini. Tidak masalah. Aku sudah terbiasa.

Aku pun segera menaiki anak tangga menuju kamarku di lantai atas. Mencoba menenangkan diri. Mencari sedikit kedamaian diantara sepi yang terasa mencekam.

Didepan jendela balkon kamar ini aku menatap nanar jalanan depan rumah yang sepi. Mungkin karena hujan. Aku bertahan dengan posisiku tanpa menghiraukan tubuhku yang mulai menggigil karena bajuku yang belum diganti.

Diam. Hanya itu yang selama ini mampu mengobatiku. Tidak. Bukan mengobati, hanya sejenak melupakan. Bahkan luka 3 tahun lalu masih terasa 3 menit yang lalu. Masih basah. Perih.

**

Jarum jam mendekati angka 7. Setelah mandi aku beranjak turun dari lantai atas. Berharap moodku yang telah membaik semakin baik dengan memakan sesuatu yang pedas. Ini ide yang brilian. Aku selalu bisa mengembalikan moodku dengan makanan.

Sedang asik-asiknya mengiris cabai dan beberapa sayuran untuk mie instant yang akan kubuat, dari ponselku terdengar bunyi nyaring. Segera kusambar ponsel di meja kecil dekat dispenser.
'Ara calling'
Segera saja aku pencet tombol hijau dan tak lama setelahnya terdengar suara nyaring dari seberang.
'Hei, kemana aja lo?'
"Gue gak kemana-mana kok."
'Maksud gue, kenapa telfon gue gak diangkat tadi? Gak kangen lo sama gue?' Aku terkekeh, sahabat smpku ini memang over pd.
"Ya sorry, tapi emang bener kok gue gak kangen sama lo. Emang kenapa lo telfon gue hm?"
'Ish, lo jahat sumpah. Gue cuma mau kasih tau aja sih, kalo gue bakalan pindah lagi ke Jogja.'
"Seriously?"
'Iya. Ayah gue dipindah tugaskan lagi di situ.'
"Ya ampun gue seneng banget dengernya. Kapan lo kesini?"
'Mungkin seminggu lagi.'
"Oke, gue tunggu."
'Btw, dah dulu ya. Gue dipanggil bunda nih.'
"It's okay. Bye Ara."
'Bye Res."

Mendengar kabar ini hatiku membuncah. Mungkin semesta masih berbaik hati dengan memberiku sedikit kebahagiaan kecil hari ini. Tidak masalah. Bukankah aku sudah terbiasa memeluk luka?

IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang