tiga

48 4 2
                                    

Pelajaran sejarah hari ini berlangsung sangat membosankan. Aku ngantuk berat. Padahal masih jam 8 pagi. Kulirik Nita disebelahku yang tampak acuh dengan Pak Sigit yang sedang menerangkan tentang revolusi prancis di depan kelas. Buktinya sekarang ia malah asik sendiri dengan dirinya.

"Nit, mbaca novel apaan sih? Serius banget? Lo ga takut ketahuan sama Pak Sigit?" Tanyaku sambil melirik buku setebal 500 halaman di pangkuan Nita.
"Ahh masa bodo lah sama Pak Sigit. Lagian ya, gue tuh suka bingung deh, apa coba faedahnya sejarah dipelajari? Masa lalu tuh tempatnya di belakang. Gak perlu lah diungkit-ungkit lagi. Sekarang saatnya kita fokus ke masa depan." Jawab Nita setelah mengalihkan perhatiannya dari novel yang sangat tebal tadi.

Ngomong-ngomong, bener juga apa yang Nita bilang. Sejarah tempatnya dibelakang. Aku menghela napas pendek. Tapi apa letak sejarah masih tetap dibelakang jika sepenggalan kisahnya masih selalu membayang?

"Res!"
"Ahh, iya Nit?"
"Kok nglamun sih?"
"Haha, engga kok."
"Terserah lo deh. Ngomong-ngomong, lo liat udah tau berita ter-update belom?"
"Emang ada apaan? Kucing lo bunting lagi?" jawabku kurang minat.
"Heee, yakali kucing gue bunting. Punya kucing aja kagak. Tapi seriusan deh Res, lo udah tau berita yang satu ini belom?"
"Au ah. Kita diliatin Pak Sigit tuh. Lo sih brisik mulu." jawabku sambil membenarkan posisi duduk.
"Kok lo jadi nyalahin gue? Perasaan yang ngajak ngobrol juga elo." Nita di sebelahku pun tidak terima meski ia ikut menegakkan punggungnya juga. Tapi aku yakin sekali, batinnya sudah mengeluh kapan pelajaran mengungkit masa lalu ini berakhir.

**
Puih!
Aku mengusap keringat di dahi. Bel istirahat kedua sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Berarti tersisa lima menit lagi. Aku mengeluh tertahan. Kenapa pelajaran olahraga begitu menyebalkan? Lihatlah, karna hanya memasukkan sekali dari sepuluh kali penilaian lay-up, dia harus memutari lapangan basket sepuluh kali setelah sebelumnya gagal lagi dalam remidial.

Aku melirik lengan kiriku. Sekarang waktuku tersisa empat menit. Padahal berganti lagi seragam putih abu-abu juga belum. Perut juga sudah sejak tadi berteriak minta diisi. Ditambah lagi, aduhai, tenagaku sudah terkuras habis sedangkan kelasku di lantai tiga. Bagaimana mungkin aku bisa menaiki tangga sampai atas?

Aku menatap ragu tangga di depanku. Tapi tak ayal aku pun tetap memaksakan diri naik ke atas. Setelah penyiksaan ini pelajaran biologi. Aku tidak mau diusir dari kelas karena terlambat masuk. Pak Sugeng memang terkenal tidak segan menghukum muridnya yang tidak sesuai standar. Terakhir, Azka--teman sekelasku--hanya menyampirkan dasi ke bahu saja sudah dibentak-bentak. Berseru akan dikeluarkan dari kelasnya jika ia tak segera membenarkannya.

Aku jadi ngeri sendiri. Bagaimana jadinya jika aku telat masuk? Dengan pakaian olahraga pula.

Huh! Aku menghela napas. Lelah. Aku masih separuh perjalanan. Kakiku mulai terasa ngilu. Tenagaku terkuras habis. Tapi aku paksakan. Aku menyemangati diri sendiri. Lantas kembali naik. Waktuku sempit. Aku harus bergegas.

Sampai di lantai tiga, aku melirik lagi sekilas tangan kiriku. Tersisa satu menit. Semoga masih cukup. Aku bergegas memasuki kelasku di ujung koridor. Pak Sugeng belum masuk kelas. Itu kabar baiknya. Aku pun segera menghampiri bangkuku dan mengambil seragam putih abu-abu yang tadi kulipat rapi. Segera keluar kelas menuju kamar mandi persis di sebelah ruang kelas.

Aku berganti seragam secepat yang aku bisa. Kemudian segera berlari ke kelas.

'Bruk!'
Ahh, sial. Sekarang pantatku sempurna mencium lantai koridor kamar mandi. Aku merutuki diriku sendiri yang begitu ceroboh, berlarian dari kemar mandi dan tidak memperhatikan sekitar sampai-sampai bertabrakan di ujung lorong kamar mandi ini.

Aku masih menepuk-nepuk bagian yang tadi mencium lantai hingga seseorang memanggilku. Nama yang hanya beberapa orang yang memakainya untukku.
"Mila?"
Aku mendongak. Tanpa sengaja berpapasan dengan matanya yang menyiratkan kerinduan itu. Tidak lama. Hanya satu detik. Karna setelahnya, aku kembali berlari. Lupa dengan rok abu-abuku yang lumayan basah. Lupa dengan kakiku yang tadi begitu sakit. Tapi aku tidak pernah lupa. Dia yang buat diriku hampir tidak kukenali lagi. Keenanda Arius Bhaskara.

IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang