Pagi berjalan seperti biasa. Rumah yang cukup besar ini masih saja sepi. Tak seperti rumah-rumah lainnya yang akan dipenuhi berbagai suara kegaduhan di pagi hari, rumahku tidak. Mungkin lebih tepatnya tidak akan seperti itu lagi.
Kakiku terhenti di tangga. Entah sampai kapan rumah ini akan lebih layak disebut rumah. Rumah yang memberimu ketenangan dan kenyamanan, hingga sejauh mungkin kau melangkah akan tetap merindukan pulang.
Sesak. Jujur saja hatiku sesak. Aku merindukan bagaimana setiap pagi mama akan meneriakiku untuk segera bangun. Aku merindukan bagaimana papa yang selalu mengantarkanku ke sekolah. Aku rindu. Sangat rindu.
Tanpa sadar pipiku merasakan panas karena air mata yang mulai jatuh. Aku menghela napas berat. Ini bukan Resha. Resha tidak akan menangis. Aku mengusap pipiku kasar seraya mendongak untuk menghentikan air mata sialan di pagi hari ini.
Langkahku terus menapaki sisa anak tangga dan menuju ke dapur. Mengambil beberapa lembar roti dan selai kacang tak lupa menuangkan segelas susu dari kulkas.
Langkahku berlanjut menuju meja makan yang cukup untuk menampung sepuluh orang, namun kini hanya diisi oleh diriku sendiri. Aku pun menikmati menu sarapanku hingga tandas dalam diam. Seperti dinding rumah ini yang selalu saja membisu.
Kulirik arloji putihku di lengan kiri. Masih pukul 6.10. Masih banyak waktu sebelum bel sekolah masuk. Tapi tetap saja hal itu tak menghentikanku untuk segera meninggalkan tempat yang sudah sejak sepuluh tahun lalu bukan menjadi tempat yang kurindukan lagi.
**
Parkiran sekolah masih sepi. Aku bisa dengan mudah memarkirkan motor matic merahku tanpa takut menyerempet motor-motor lain. Kemudian aku beranjak pergi menuju kelasku yang terletak di lantai dua.
Sesampainya di depan kelas, seperti tebakanku sebelumnya, kelas masih sepi. Hanya ada Fifi dan Reno yang asik memainkan ponsel masing-masing. Aku menarik napas pendek. Tersenyum mencoba ceria seperti biasanya.
Aku pun masuk kelas dan menyapa Fifi dan juga Reno.
"Pagi, Fi, Ren. Tumben kalian pagi banget nyampenya?" Sapaku sambil menuju tempat dudukku seperti biasanya.
"Pagi juga Res."
"Pagi, Res. Gue sama Reno emang biasa paling pagi nyampe kali. Lo aja yang aneh. Tumbenan amat lo sepagi ini dah nyampe?" jawab Fifi sambil mengangkat pandangannya dari ponselnya.
"He he he. Lagi pengen aja." Cengirku sambil tertawa canggung.
Fifi pun tidak membalas cengiranku dan malah fokus kembali kepada ponsel di tangannya. Aku melirik lengan kiriku. Masih ada 40 menit sebelum bel masuk pelajaran pertama berbunyi. Pikiranku menjelajahi kemungkinan-kemungkinan tempat yang akan membunuh kebosananku sebelum pelajaran dimulai.
Perpus? Jam segini belum buka. Rooftop? Males ahh, cape naik tangga pagi-pagi begini. Kantin? Kan udah sarapan tadi. Kemana ya? Otakku masih saja berputar sementara langkahku semakin menjauhi kelas. Hingga aku berhenti di taman belakang sekolah, dan aku berpikir bahwa ini tempat terbaik. Kakiku pun menuju sebuah bangku yang terletak paling belakang dibawah pohon jambu yang sedang berbunga.
Segera aku mengeluarkan ponsel dan headset dari saku rokku. Tak lama lagu yang mengalun secara acak dari ponselku pun mengisi kekosongan sekitarku.
Aku sebenarnya bingung. Di rumah hanya ada sepi. Di sekolah pun sama. Kosong. Kenapa seolah dunia ingin menjauhiku? Kenapa semuanya tak ada yang mengerti bahwa aku sendiri? Aku kuat menjalaninya sampai saat ini. Tapi aku juga butuh orang lain untuk mengisi hariku. Orang yang merasa tak terbebani mendengar keluh kesahku.
Aku masih terbenam dalam lamunanku hingga seseorang tiba-tiba duduk di sampingku.
"Sendirian aja lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi
Teen FictionIni tentang ilusi mimpi dalam pias senja kini biarlah kupetik sedikit rona sebelum pergi untuk menemani sekali lagi untuk menemani hanya sampai esok saja biarlah menghangat dalam dekap biarlah mendingin dalam gelap sekali lagi ini tentang ilusi biar...