empat

26 4 2
                                    

"Gue kangen sama lo, Mil."

Kalimat itu seakan bagai boomerang di kepalaku. Dunia seakan berhenti saat tatapanku dengan Rius terkunci. Aku berusaha mencari kebohongan disana, tapi tak kutemukan. Dan yang membuatku ingin menangis adalah, dia memanggilku dengan nama itu lagi.

Aku tertunduk seiring cengkeraman tangannya terlepas dari lenganku. Air mataku yang kutahan mati-matian agar tidak jatuh pun sudah membasahi pipi.

Aku kalah. Kenangan masa kecilku kembali berputar bagai kaset rusak.

Flashback on

Siang itu seperti biasa, aku dan rius pulang sekolah diantar tukang becak langganan kami. Ditengah perjalanan tiba-tiba Rius bertanya.
"Resha, kenapa kamu panggil aku Rius? Kan nama aku Keenan."

Aku yang merasa ditanya pun menoleh padanya. "Kan nama kamu ada Rius nya. Yaudah, aku panggil kamu Rius aja, biar kita sama-sama R. Resha. Rius." Jawabku sambil memamerkan senyum lima jari.

"Yaudah, aku panggil kamu Mila."

"Kok gitu? Kan yang boleh panggil aku Mila cuma mama sama papa."

"Tapikan nama kamu Mila."

"Resha."

"Mila."

"Resha."

"Mila."

"Resha. Resha. Resha."

"Mila. Mila. Mila. Mila."

"Resha. Pokoknya Resha. Bukan Mila."

"Enggak. Pokoknya Mila. Bukan Resha."

"Ihh, kok kamu nyebelin sih?"

"Kamu juga nyebelin."

"Rius jelek."

"Mila jelek. Blee." Jawab Rius sambil memeletkan lidahnya.

"Rius lebih jelek. Blee."

Flashback off

"Mila. Gue tau lo masih marah sama gue. Tapi tolong, jangan kayak gini. Gue kangen sama lo." Suara itu seketika melemparku kembali ke dunia nyata.

Aku mengangkat kepala dan menatap tajam pemilik suara tadi.
"Lo! Jangan pernah panggil gue Mila lagi. Lo bukan bokap ataupun nyokap gue!" Jawabku sarkastik.

Aku pun langsung lari meninggalkan kantin dengan semua  perasaan yang bercampur aduk. Persetan dengan semua penekanan dikalimat terakhirku tadi. Persetan dengan semua pasang mata yang menatapku dan Rius di kantin tadi. Aku sedang tidak memperdulikan siapa pun disini. Hatiku untuk kesekian kalinya hancur karena orang yang sama.

**

Sakit. Entahlah ini sakit apa. Terasa begitu menyesakkan dan perih. Padahal luka berdarah pun tidak ada.

Semesta lagi-lagi berkonspirasi. Seakan menertawakanku dengan hadirnya awan hitam diatas sana.

Angin yang berhembus di atas gedung sekolahku ini pun sama. Tidak peduli. Tetap berhembus dengan kuat berusaha menyapu apa yang di lewatinya.

Tapi siapa peduli? Meski hujan deras sepertinya akan segera turun, ditambah angin berhembus kencang, aku tetap berdiri tegap di depan pagar besi. Menyembunyikan bahuku yang rapuh dengan menatap jalanan ramai kota Yogya ini. Berusaha mencari sedikit kedamaian dalam kesendirian ini.

'Drrtt.. Drrrttt...'
Ponselku bergetar

Ahh.. Siapa yang peduli ponsel bergetar jika sedang sibuk menikmati kesendirian bukan? Apalagi semesta ini sedang baik sekali mengirimkan gerimis untuk menyembunyikan air mataku ini.

IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang