Siang itu aku pulang sekolah dengan sebuah buku tulis matematika ditanganku. Menumpang becak langgananku seperti biasa. Bersenandung kecil. Bercengkerama riang dengan Rius, tetangga depan rumah. Saat itu aku dan Rius masih kelas satu sd. Baru belajar penjumlahan dua digit. Aku berniat memamerkan nilai sempurna kepada mama dan papa lewat buku tulis yang kugenggam erat. Bersiap dengan serangkaian pujian yang keluar dari bibir mama, bersiap minta dibelikan mainan baru sebagai imbalan. Mungkin boneka beruang besar, atau boneka sapi besar, atau dua-duanya? Ahh, memikirkannya saja sudah membentuk sempurna lengkung manis dari bibirku.
"Kenapa senyum-senyum sendiri Res?" tanya Rius menatapku heran.
"Tidak apa-apa." jawabku sambil nyengir.
"Dasar aneh." itu ejekan dari Rius untukku. Tapi aku tidak akan memarahinya atau memberenggut sebal seperti biasa saat ia mengejekku, aku sedang bahagia saat ini."Sampai." kataku dan Rius bersamaan saat becak yang kami tunggangi sempurna berhenti di jalan depan rumah kami. Aku berjalan memasuki halaman rumah setelah sebelumnya mengucapkan salam perpisahan pada Rius. Buku di tanganku masih tergenggam erat. Kakiku kulangkahkan lebih cepat. Tidak sabar.
Aku membuka pintu depan perlahan. Agak kesulitan karena letak knop pintu yang diatas kepalaku. Melangkah masuk setelah berhasil membuka pintu dengan sempurna. Mencari keberadaan mama.
Kakiku baru melangkah belasan kali, setengah jalan mencapai ruang tv, hingga suara benda dibanting dengan keras terdengar. Disusul bunyi seperti kaca pecah. Kemudian disusul bunyi pecahan-pecahan lainnya yang terasa memekakkan telinga.
Aku tergugu ditempat. Ketakutan. Tidak mengerti apa yang terjadi. Takut-takut aku melangkah lebih dalam. Mencari sumber suara pecahan berkali-kali tadi. Suara pecahan itu terdengar lagi. Lebih keras. Disusul teriakan dari mama. Kakiku gemetar. Irama jantungku sudah tak terkendali lagi.
Setelahnya, dapat kulihat mama dan papa yang bertengkar di kamar lewat pintu kamar yang tidak ditutup. Dari tengah ruang tv ini aku ketakutan. Suara bentakan dari papa, suara pecahan kaca, pecahan guci, pecahan gelas bercampur dengan suara tangis mama. Begitu memilukan. Buku matematikaku sempurna terlepas dari tanganku. Air mataku mengalir. Suaraku tertahan dikerongkongan. Dadaku sesak. Aku berusaha menghalau suara-suara yang menyakitkan itu dengan menutup telingaku. Tubuhku pun meringkuk di atas karpet abu sekarang. Tapi suara-suara itu tetap tak bisa hilang. Tidak bisa kuhalau. Malah semakin jelas sekarang. Aku semakin takut. Dadaku naik turun tak beraturan. Aku benar-benar takut. Lihatlah, sekarang papa sedang menyeret mama keluar kamar. Kemudian tangannya dengan kasar menghentakkannya ke lantai. Tak lama setelahnya, menendang kaki mama sambil terus menyumpah serapahi. Aku yang melihatnya hanya bisa terus menangis. Sakit sekali melihat semua ini dengan mataku sendiri. Dadaku terasa terhimpit batuan besar.
Mama kini berusaha berdiri meski kakinya nyilu berat akibat tendangan papa. Dia menyeret kakinya kearahku yang masih meringkuk di atas karpet abu. Membawaku berdiri. Menurut, aku pun segera memeluk kakinya. Menyembunyikan wajahku disana. Berusaha memalingkan muka agar tak melihat kejadian ini. Tak melihat mama ataupun papa. Memejamkan mata, berharap kejadian ini akan hilang saat aku membuka mata. Hanya mimpi. Namun sayang, semua ini nyata. Bahkan teriakan-teriakan mama dan papa masih terus terdengar ditelingaku.
Hingga mendadak seseorang menarik tanganku dengan paksa. Aku terhuyung hampir jatuh jika mama tidak menarik tanganku yang satunya lagi. Ternyata papa yang menarikku tadi. Kini sempurna sudah aku menjadi rebutan mama dan papa. Aku hanya bisa terus menangis sambil meracau memanggil mama. Aku berusaha melepaskan cengkeraman ditangan. Namun gagal. Tangan kanan dan kiriku terasa perih karena ditarik sana sini dengan kuat. Papa berusaha merebutku dari mama, dan mama berusaha sekuat tenaga menarikku kembali. Namun, seberapa kuat pun mama menarik aku, tenaganya masih jauh lebih kecil dibanding papa. Dan kini papa sempurna sudah merebutku dari mama. Menyembunyikanku dibalik tubuhnya. Menyuruh mama keluar. Pergi. Aku hanya bisa terus menangis dibalik tubuh papa sambil memanggil mama. Sesekali aku berniat ke arah mama. Namun baru beberapa langkah, tanganku selalu ditarik kembali oleh papa. Aku sempurna tak bisa apa-apa. Bahkan tatapan terluka mama yang kini menatap ke arahku tak sanggup ku balas. Aku terus terisak. Menunduk. Lenyap sudah keinginanku dibelikan boneka baru. Keinginanku dipuji oleh mama atas nilaiku. Semua lenyap. Begitu saja. Begitu mudahnya. Raib. Hilang.
"PERGI!"
Papa berseru untuk kesekian kalinya. Melontarkan rentetan sumpah serapah. Mengabsen hewan-hewan di kebun binatang. Sakit. Yang kurasakan sakit. Mendengar semuanya. Melihat semuanya.Dan setelahnya mama benar-benar pergi. Melangkah dengan menyeret kaki. Menatap kebelakang beberapa kali sebelum mencapai pintu depan. Tatapan mata mama jelas sekali menyiratkan luka mendalam. Terlihat berat meninggalkan aku sendiri. Bahkan meski aku melihat wajahnya tak lagi mengeluarkan air mata, aku bisa melihat jelas tangisannya yang tanpa suara.
"Mama!"
Napasku tersenggal. Aku terbangun dari tidurku. Dahiku dipenuhi peluh. Tanganku gemetar. Aku melirik jam weker di nakas samping tempat tidur. Pukul 2.37. Masih sangat pagi.
Aku menyeka peluh didahi sambil memosisikan tubuhku untuk duduk. Napasku masih tersenggal. Aku menarik napas dalam-dalam. Berusaha menenangkan diri.
Mengenyahkan pikiran yang kini dihantui masa lalu itu. Sepotong kisah masa kecil yang sudah kukubur bersama benci yang terlanjur memekat. Entah apa maksud semua mimpi itu hadir lagi. Entahlah. Aku terlalu lelah untuk memikirkannya kini.
##
Hi guys!
Sorry kali ini bukan update, tapi cuma revisi dari part yang sebelumnya udah aku publish.Special thanks buat yg udah ngingetin update :"
Sorry juga aku lama hiatusnya, hehe :#
Thanks buat yg mau baca cerita abal-abal ini wkwk
Aku bakalan usahain update terus kalo banyak yang suka :v
Salam,
aufank
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi
Teen FictionIni tentang ilusi mimpi dalam pias senja kini biarlah kupetik sedikit rona sebelum pergi untuk menemani sekali lagi untuk menemani hanya sampai esok saja biarlah menghangat dalam dekap biarlah mendingin dalam gelap sekali lagi ini tentang ilusi biar...