Pertemuan.

3.8K 294 6
                                    

Disaat orang lain goyang dumang biar hati senang dan semua masalah hilang, Aca memilih nonton drama Korea untuk mengalihkan pikirannya yang sedang kacau. Menatap wajah tampan Ji Chang Wook Oppa lebih baik daripada meratapi nasib sendiri, katanya.

Semua orang pasti mengira Aca baik-baik saja dengan melihat wajah ceria dan senyum lebarnya, tapi mereka takkan pernah tahu betapa teriris hatinya jika mengingat semua yang terjadi dalam hidupnya. Sepotong demi sepotong ingatan yang kembali membuatnya menangis setiap malam, semakin menambah ketakutan yang luar biasa dalam hatinya. Terlebih, jika nanti potongan kejadian yang belum ia ingat saat ini, ternyata akan membuatnya lebih sakit di kemudian hari.

Aca mengusap air matanya setelah sholat Subuh, melipat mukenanya, dan bersiap keluar membantu Bunda di dapur.

"Pagi, Bunda sayang," ucap Aca pelan sambil memeluk Diana dari belakang.

"Tumben cepat bangun, Dek."

"Lagi rajin aja."

"Bangunin Abang, Dek, nanti telat ke kantor lagi."

Aca berjalan lunglai ke kamar Ethan. Memasuki kamar abangnya itu adalah hal paling menyebalkan baginya. Ia selalu punya cara untuk membuat kesal adiknya jika memasuki wilayah pribadinya.

"Bang!" teriak Aca setelah membuka pintu kamar Ethan.

"Apa?" ucap Ethan yang sedang memakai dasi di depan cermin.

"Oh, sudah bangun toh, Bang."

"Sudahlah, nggak ada ceritanya Bety males kayak elo bangunin gue."

"Abang gitu banget sih sama adiknya." Aca langsung pergi ke ruang makan tanpa mempedulikan Abangnya yang tersenyum penuh kemenangan.

***

"Abang, kita makan ayam goreng ya?" kata Ve pada Devan saat mereka memasuki sebuah restoran.

"Iya Bang, Aca juga mau ayam goreng."

Aca dan Ve memilih duduk, sementara Devan yang memesan makanan mereka. Restoran cepat saji ini hanya menyediakan ayam goreng dan minuman bersoda saja.

"Makasih, Abang sayang!" ucap Ve manja setelah pesanan mereka datang. Kebiasaan Velove yang selalu membuat Devan kesal.

"Veee... nggak malu apa diliatin orang banyak gitu?" Devan menatap Ve tajam. "Berasa baby sitter bocah remaja gue."

"Kak Ardi! Sini!" teriak Ve saat melihat Ardi di pintu masuk, pria yang beberapa bulan ini sering berkumpul bersama mereka.

Ve pun mencoba menyuapkan potongan ayam ke mulut Ardi dan pria itu pun memakannya dengan lahap, setelah duduk di samping Velove.

"Heran gue, kok lo mau sih dijadiin bocah sama Ve." Devan menggelengkan kepalanya, menatap teman dan adiknya itu bergantian, lalu mereka tertawa bersama.

"Woy, Ca, ngapain lo bengong di situ?" Aca tersadar dari lamunanya mendengar Marin berteriak. Melihat kang Doni dan Marin makan ayam goreng mengingatkannya pada sahabatnya yang telah pergi.

"Eh? Tumben jam segini sudah ngumpul semua? Ayam dari mana tuh?" tanya Aca sambil berjalan memasuki Greenday Resto lalu ikut duduk di kursi samping Marin.

"Pak Devan tadi yang bawa ayam goreng, anak-anak yang lain pada makan di dapur," jawab Doni cepat.

Setelah acara makan ayam goreng, suasana di Greenday Resto kembali seperti biasanya. Sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, melayani pelanggan yang siang ini luar biasa banyaknya, sampai tak ada lagi meja yang kosong. Aca yang sibuk mondar-mandir menerima pesanan hingga tidak sadar ada sepasang mata yang menatapnya tajam.

Jam telah menunjukkan pukul dua siang. Tamu yang datang sudah mulai berkurang, tinggal beberapa orang saja yang terlihat masih bercerita.

"Ca...."

Aca menegang mendengar suara itu memanggilnya. Perlahan ia menoleh, berharap orang yang memanggilnya bukanlah orang yang selama ini ia hindari.

"Ardi...." Seperti berbisik Aca menyebut nama itu. Jantungnya mulai berdetak kencang tak beraturan membuat napasnya memburu.

"Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Aca tenang saat menghampiri pria itu.

"Ternyata kamu bisa ngelupain aku ya?" kata Ardi masih dengan tatapan tajamnya.

"Maaf, Pak, kalau tidak ada yang dibutuhkan lagi, saya permisi." Gadis itu mencoba menghindar dari mata tajam yang seolah siap menghancurkan tubuhnya.

"Tunggu." Ardi mencekal pergelangan tangan Aca, namun gadis itu langsung melepasnya dengan kasar. "Wow, ternyata manisku sudah dewasa."

Aca tidak menggubris ucapan Ardi. Ia segera pergi meninggalkan Ardi yang terus menatapnya dengan senyum misteriusnya.

Ingin menangis, tapi Aca terus menahannya. Air mata yang sudah tergenang di pelupuk mata pun tak lagi ia hiraukan. Bayangan mengerikan itu kembali lagi, wajah sendu Ve dan tangisannya yang memilukan, ditambah darah yang mengalir di sekitar tubuhnya. Aca kembali menjerit dalam hati, mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Ia berusaha keras memutar otak hingga kepalanya mulai sakit dan semuanya gelap.

***


Publish 09/10/2017

Repost 02/04/2018

Revisi 13/07/2018

Biarkan Berlalu (Terbit Di Innovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang